twitter instagram

LULU ERZED

pict : google


“Satu tahun ini sudah ngapain aja?”

“Resolusi tahun depan apa?”

“Semoga tahun depan lebih baik”

“Terima kasih 20—bla bla bla”, dan lain-lain.

Pertanyaan dan penyataan default yang dikeluarkan setiap penghujung tahun. Kenapa tak kau tanyakan saja pada dua malaikat setia yang setiap nano detiknya mencatat amal-amalku?

Tiap tahun sok-sokan buat resolusi, tapi juga nihil, pun tanpa evolusi—Dasar aku dan kamu sekalian.

Kalau saya baca di kaos abang penjual thai tea di ujung jalan sana tertulis, “Januari, Februari, Corona, Desember”.Cukup menggelitik otak saya, kemudian menyetujui kalimat tersebut. Maret hingga November seperti terlewati begitu saja. Karena semuanya dilakukan di rumah aja ya, kan.

Setelah kupikir, rasanya tidak buruk-buruk juga. Satu tahun ini saya mencoba tetap bertahan hidup di tengah mewabahnya covid-19. Banyak yang tertinggal, banyak resolusi yang tidak sesuai ekspektasi, banyak kabar duka, banyak rencana yang gagal, banyak harapan yang tertunda.  Meskipun tetap ada; ada yang berhasil terselesaikan, ada yang terlaksana namun tidak maksimal, ada pula angan yang kubiarkan lenyap begitu saja.

Terlalu meratapi kegagalan, sampai lupa bersyukur pada-Nya atas segala kemudahan yang diberikan dalam menuju pencapaian. YAY! ALHAMDULILLAH, I’M GRADUATED!”. Bulan November lalu saya menyelesaikan studi strata-1. Semua proses tugas akhir dari bimbingan, sidang, hingga wisuda dilakukan daring. Ekspektasi perayaan sidang skripsi dan wisuda yang akan dihadiri orang-orang terdekatpun sudah kubuang jauh-jauh. Mereka tetap hadir. Satu per satu hadir menyapa mengucapkan selamat via media sosial.

Tunggu. Belum selesai. Masih banyak misi hidup yang harus diselesaikan. Apa sih yang dicari di hidup ini? Berlomba kejar target hidup masing-masing, sampai lupa bahagia. Akhir tahun ini, saya dibangunkan oleh satu buku yang kubaca, dan tiba-tiba saya berpikir, “Iya juga ya.”

Jadi begini,

Sebagai anak, wajar jika kita ingin membahagiakan kedua orang tua. Kita berusaha semaksimal mungkin mencapai target-target hidup yang sudah kita buat sendiri—dalam rangka membahagiakan orang tua—tapi tanpa mendiskusikan dengan orang tua kita, apa yang sebenarnya mereka harapkan pada capaian kita, dan apa yang membuat mereka bahagia.

Jangan-jangan sebenarnya mereka sudah bahagia dengan capaian kita sampai saat ini? atau jangan-jangan, dengan memiliki kita saja sudah dianggap sebagai anugerah terbesar mereka? lalu, untuk apa kita masih berusaha terus, kalau-kalau mereka memang ternyata sudah bahagia dengan apa adanya saat ini?

Kemudian di malam tahun baru ini, saya memberanikan diri memberikan catatan target sepuluh tahun ke depan saya kepada orang tua. Meskipun lagi-lagi tidak ada banyak kata dari mereka, tapi mereka sudah mengiyakan. Doaku, semoga semua tercapai dan tidak sedikitpun mengecewakan mereka.

Tidak cukup baik, tapi tidak buruk juga untuk tahun ini. Sekian. Welcome, My 23!

Di tahun ini terlalu banyak semoga yang dipanjatkan mereka. Semoga, yang disemogakan mereka adalah harapan tulus untuk ketetapan maupun perubahan menuju baik bagi diri saya.

Semoga-semoga yang disemogakan mereka adalah doa sekaligus tanggungan untuk saya. Sebagai doa, semakin ringan pula saya menuju hal baik yang mereka semogakan. Sebagai tanggungan, bagaimana jika saya tidak mampu memenuhi beberapa bagian dari harapan yang mereka semogakan?

Semoga-semoga yang mereka panjatkan, senantiasa saya aminkan.

Di tahun ini, semoga yang saya panjatkan sendiri tidak banyak. Semoga saya, hanya ingin sehat selalu jiwa raga, dan semoga selalu dikelilingi dan dikumpulkan dengan orang-orang baik, seperti mereka yang memberikan semoga baik kepada saya.

Hanya dengan sehat jiwa raga, tersebut yang akan menjadi kekayaan dan kekuatan terbesar yang saya miliki untuk menuju semoga-semoga yang mereka panjatkan. Tanpa sehat jiwa raga, saya tidak akan berdaya apa-apa.

Jiwa adalah roh manusia, segala kehidupan batin, pikiran, dan yang akan mengolah raga saya untuk tetap berdiri, berjalan, hingga berlari. Tanpa jiwa dalam keadaan sehat, semua semoga-semoga itu hanya angan dan tidak akan berarti. Begitu seterusnya, sampai semoga-semoga baru yang akan dipanjatkan mereka di tahun depan.

Iya, kalau semoga-semoga itu berganti dengan semoga-semoga yang baru. Berarti saya telah berhasil mencapai semoga-semoga di tahun ini. Lantas, kalau tidak? Kalau masih dengan semoga yang sama?

Semoga saya mampu mewujudkan semoga-semoga yang kalian panjatkan dan saya aminkan hari ini.
Selamat datang, 22.

 

 

 

 

 

 



Hai, assalamualaikum.

Alhamdulillah, selama bulan Ramadan 1441 H kemarin, aku terima tawaran buat nulis artikel spesial di Terminal Mojok.

Mau tahu selama sebulan Ramadan kemarin aku nulis artikel apa saja di Mojok? Klik di sini ya, Darl.

Luv.



Kama Tadiinu Tudaanu : Sebagaimana kamu memperlakukan, (begitu pula) kamu akan diperlakukan. Tersebut penggalan Hadits, menjadi salah satu yang mendasari saya mengetik tulisan ini.

Saya menulis ini di bulan Desember, juga dalam rangka mengenang sosok berperikemanusiaan, yaitu Gus Dur. Tapi di sini saya nggak akan bahas bagaimana figur sosok Gus Dur dalam memanusiakan manusia ya.
Tulisan ini berisi sedikit cuitanku perihal konsep memanusiakan manusia.

Relevan dengan salah satu konsep hidup yang saya pegang dewasa ini, yaitu ‘Memanusiakan Manusia’. Saya yang dulu boleh dibilang cenderung berkepribadian individualis, akhirnya lambat laun mulai memahami konsep tersebut yang mengharuskan menjadi orang yang ‘sosialis’. Apa sih bahasa yang pas. Paham kan? Paham lah, harus.

Tentu ini tidak sulapan atau cling tiba-tiba saya mampu memahami dan menyadari pentingnya konsep ini. Banyak sekali membaca dari pengalaman sendiri, juga kisah pengalaman teman.

Pernah Ayah saya berpesan, “Kuncinya itu, kalau mau dihormati ya harus bisa menghormati”. Saya kira itu juga bagian dari maksud konsep ‘Memanusiakan Manusia’, yang jika dipreteli (apa sih bahasa yang pas), akan menemukan komponen-komponen tersebut di dalamnya.

Sejak itu, saya mulai menyadari untuk selalu berkaca pada diri sendiri saat mengeluhkan sesuatu. dan selalu teringat pesan Ayah, lalu saya ganti predikatnya. Seperti: Kalau mau disayang, ya harus menyayangi. Kalau mau pendapat kita didengarkan orang lain, ya harus mau mendengarkan orang lain. Dan begitu seterusnya harus selalu melihat diri sendiri sebelum menjustifikasi perilaku orang lain terhadap kita.

“Apa saya mau jika saya diperlakukan seperti itu?”, Nah pertanyaan ini juga perlu disadari setiap manusia. Setelah kesadaran kita harus melihat diri kita sendiri sebelum menjustifikasi orang, ini juga harus beriringan dengan melihat diri kita terlebih dahulu sebelum memperlakukan orang lain.

Perlu dipahami dan disadari oleh setiap manusia (lagi), konsep ini sudah saya terapkan dalam perihal apapun. Pernah saya hampir menabrak orang, tapi nggak tau sebenarnya yang salah siapa, lawan motor juga salah karena kecerobohannya, dan ini berulangkali saya alami di jalan.

Pada saat terjadi insiden tersebut, pasti sebisa mungkin saya  meminta maaf duluan dan mempersembahkan seutas senyum terbaik dari bibir saya –yang manis—ini. Sudah kubuktikan berkali-kali, ini sangat terbukti manjur, cuy. Lawan laka saya nggak jadi marah-marah dong.

Dan saya sangat yakin, kalau percekcokan di jalanan antar pengendara, biasanya bermula dari salah satu di antara mereka tidak ada yang mau meminta maaf dan tidak mau mengalah. By the way, ini juga bisa diterapkan tidak hanya dalam kasus ini. Misalkan, dalam kehidupan sosial keseharian, atau dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Putus da putus hubungan kalian!

Mengaplikasikan konsep ‘Memanusiakan Manusia’ berarti harus bersitegas melawan ego. Berusaha menjadi manusia yang legowo (menerima dengan ikhlas), mampu mengerti dan memahami orang lain di hadapan kita.
Konsep ini juga sejalan dengan peribahasa “Apa yang kamu tanam, maka itu yang akan kamu tuai”. Peribahasa ini seringkali diterapkan dalam proses mencari ilmu. Tapi bagi saya tidak hanya itu, konsep ini juga berhak memakai peribahasa tersebut.

Sudah termaktub juga dalam al-Quran sebagai sumber pedoman umat muslim, salah satunya terdapat dalam Surah Arrahman ayat 60 “Hal jazaa ul ihsaani illal ihsan” yang artinya “Tidak ada balasan kebaikan, kecuali dengan kebaikan pula”.

Masih banyak ayat-ayat lain yang serupa dalam al-Quran yang berisi balasan atas perbuatan manusia. Tentunya ini tidak hanya konteks menanam di dunia, menuai di akhirat. Ini juga bisa berlaku di dunia, yang seharusnya juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan harus disadari oleh setiap manusia kalau ini menjadi bagian dari konsep hidup yang menurutku sangat urgen.

Saya pikir tidak hanya sumber pedoman Islam yang mengajarkan demikian. Saya yakin agama-agama lain dalam kitab pedomannya juga mengajarkan kebaikan-kebaikan. Baik pada perkara hubungan kepada Tuhan, maupun hubungan kepada manusia.

One of the conclusion, intinya: Nek ora gelem dikonokke, yo ojo ngonokke, Mbak Mas.
(Kalau nggak mau digituin ya jangan ngegituin)
~

#Mohon maaf kebawa ritme gaya tulisan Mojok. Wkwk




Kalau kepo silakan dibaca. 
Tapi kalau baca harus sampai akhir ya. Hehe.
By the way kutulis karena ini pengalamanku sekali seumur hidup.

Pra Magang

Sebelumnya belum terpikirkan sama sekali buat magang di mana. Setelah cari-cari info sana-sini mau magang dimana, akhirnya aku memutuskan buat pilih Mojok.

Beberapa informasi terkait  bagaimana dan apa saja persiapan untuk magang di sana, aku dapet dari highlight stories-nya Mojok, juga ada dari website, Aku juga DM instagram Mojok, kirim email Mojok, DM Mas Agus Mulyadi. Da pokoknya segala upaya aku lakuin buat dapet informasi magang di sana.

KKN usai, magang profesi pun dimulai.

Step by step prosedur magang kulakuin. Tapi nggak mau detail-detail juga nulisnya per tanggal, nanti jadinya kek laporan magang resmi yang dikumpulin ke dosbim magang.

Setelah akhirnya dapat informasi, yang mana langkah pertama aku harus mengirimkan portofolio karya, CV, juga surat pengajuan magang ke email mojok.

Nah, drama pas ketemu dosen buat tanda tangan surat pengajuan magang nih.

“Yakin diterima di Mojok? Dari sini belum pernah ada kerjasama dengan sana lho”, kata dosen.
“Lah memangnya kenapa, Pak? Boleh, kan?
“Ya boleh. Tapi yakin?”
“Insyaallah, Pak.”

Setelah mendengar perkataan dosen, yang seolah meragukan bakal diterima atau tidak, aku nggak down-down amat sih. Keterima ya Alhamdulillah, kalau nggak ya cari tempat magang lain.

Step selanjutnya nih, setelah kirim email artikel, cv, dan surat pengajuan magang itu, berhari-hari nungguin balasan email. Sampai akhirnya dapat kabar dari sekred buat datang ke kantor Mojok.

Oh iya, kata gantinya jadi kami aja ya. Karena aku berjuangnya nggak sendiri, jadi magang ini aku bareng salah satu temen kelas, si Annatiqo.

Pertama kali kami datang ke kantor Mojok akhir September lalu, langsung dong di sana ditanya ini itu (alias wawancara terkait wawasan permojokan) sama Mas Dafi, terus lanjut tes tulis, dengan buat artikel dikasih waktu kurang lebih lima jam.

Selesai itu, kami nunggu beberapa hari buat dapat kepastian diterima atau tidaknya. Karena Mojok hanya menerima dua anak magang, dan pada saat itu kami nggak tahu, apa di sana sudah ada anak magang atau belum. Posisi sudah akhir September, wah ya kalau nggak diterima mungkin kami terpaksa nanti ngikut sama fakultas mau ditempatkan magang dimana.

Dan akhirnya, kami dapet kabar diterima magang di sana.

Pas Magang

Pake kata ganti ‘aku’ lagi ya. Di bagian ini soalnya lebih ke cerita personalku sih, mungkin bisa jadi beda atau lain cerita dengan dia. (Dasar aku aja yang nggak konsisten)

Setiap Senin-Jumat aku harus datang ke kantor Mojok yang berada di sekitar KM. 12 Jl. Kaliurang. Lumayan sih. Lumayan banget. Kalau setiap harinya dari Bantul ke Sleman, PP tiap hari antar kota cuy. Tapi ya nggak apa-apa sih. Toh juga aku seneng bisa dapet kesempatan buat tau dapur redaksi di Mojok.co.

Setiap harinya aku harus buat 1 artikel buat dikirim ke redaksi Terminal Mojok. Itu pun belum tentu setiap harinya akan naik ter-upload di Terminal. Ternyata susah cuy. Sama sekali jauh dari kesok-sokanku yang tiap baca web Mojok.co atau Terminal Mojok dengan sedikit mbatin, “Nulis begini mah kayaknya gampang deh”. Ternyata nggak semudah itu, ferguso~

Di hari-hari awal aku magang, tulisanku dibaca sama Mas Dafi. Begini kurang lebih komentar dan masukannya.

  1. Kalau nulis itu harus yang dekat dengan kita, dan yang benar-benar kita pahami. Supaya lebih mudah menuliskannya.
  2. Kamu ini pasti takut ya nulisnya? Kalau nulis jangan takut
  3. Jangan kebanyakan data tinjauan pustaka. Perbanyak data dari observasi kamu sendiri. Tulisanmu ini malah kayak tulisan Tirto.id, coba kamu baca lebih banyak lagi tulisan Mojok
Aku bingung dong harus gimana. Pernah sampe nangis gara-gara bingung ini cara nulis yang bener kayak gimana. Berlatih lagi, baca lagi, tulis lagi, koreksi lagi, begitu terus sampai lama-lama mulai ngalir juga. Meskipun kadang kebingungan setiap harinya harus scroll twitter, scroll news, ngalamun, merenung, mikir buat cari tema hari ini mau nulis apa.

Kenapa Terminal Mojok? Kok nggak Mojok.co?

Dulu sebelum ada Terminal Mojok, anak magang memang langsung diarahkan ke Mojok.co, karena Mojok.co cukup ketat seleksi tulisan yang masuk, sehingga anak magang kesulitan buat tulisannya dimuat di sana. Bisa-bisa dua bulan magang hanya 2-3 artikel yang dimuat.
Karena sekarang ada Terminal Mojok -yang nggak seketat Mojok.co-, jadi anak magang diarahkan ke sana.

Boro-boro Mojok.co, Terminal Mojok aja aku selama dua bulan baru 12 artikel yang dimuat. Hehe. Sila baca artikelku di sini. Tapi, kapan-kapan coba kirim ke Mojok.co deh.

Selama dua bulan magang juga ada beberapa minggu dilakukan kerja remote. Kerjanya bisa dimana aja terserah redaktur, nggak harus dateng ke kantor dan yang penting hari itu ngirim tulisan.

Pokoknya nulis dulu, nulis lagi, nulis terus.

Pasca Magang

Dua bulan cukup menguras tenaga dan pikiran sih. Capek badan karena harus bolak balik pergi pagi pulang petang, capek pikiran karena tiap hari harus putar otak buat dapet tema tulisan. Kadang malemnya aja udah mikir. Besok mau nulis apa ya? 

Tapi semua kelelahan itu nggak berarti apa-apa lah dibanding pengalaman dan pelajaran yang banyak sekali aku dapatkan saat magang di Mojok.

Kadang rindu sama kantor redaksi Mojok yang tenang dengan suara gemericik air di kolam ikan, bau asap rokok, canda Cik Prim, Mas Dafi, Mas Ega, Mas Seno, Mas Ali tanpa kalian yakin kantor krik krik. Kalau rapat redaksi hari Senin lebih ucul lagi, karena ada Mas Agus.

Mbak Au si murah senyum yang sabar banget banyak ngasih aku kritik dan saran tulisan-tulisanku. kangen semuanya cuy.

Oke. Magangku lancar dan laporan magang juga udah kelar. Alhamdulillah.
Kalau mau tanya-tanya cerita magangku yang sekiranya belum aku tulis di sini, bisa ditanyakan via Direct Message atau Email ya. Halah apasih.

Bonus Tips Cari Tempat Magang
  • Cari tempat magang sesuai bakat dan minat kalian
  • Jangan ikut-ikutan temen. Harus punya pilihan sendiri
  • Pertimbangkan dulu, kira-kira di sana kalian akan berkembang atau nggak
  • Jangan takut buat ngelamar magang di tempat yang sekiranya butuh effort lebih

Bonus Beberapa Teknik Penulisan di Mojok

Ini aku dapetin pas evaluasi sama Cik Prim (Pimred Mojok), jarang-jarang kalian dapetin materi ini lho, hehe. Bahkan pas mapel atau makul Bahasa Indonesia sekalipun. Nggak banyak sih yang aku kasih bocoran, tapi barangkali sedikit bisa buat pedoman kalian kalau ada yang mau nulis di Mojok. Cekidot~
  1. Konsistensi penggunaan kata ganti dalam satu tulisan, seperti menggunakan ‘saya’ atau ‘aku’
  2. Penulisan … sebelum atau setelahnya harus diberi spasi, jika di akhir kalimat, maka titiknya menjadi empat. (contoh: bla bla bla cinta….)
  3. Sebelum ‘Hehe’, harus ada koma (…, Hehe)
  4. Pengulangan huruf harus kelipatan tiga ( plisss, plissssss)
  5. Sering-sering buka KBBI ya cuy!
  6. Penulisan tanggal 17 September 2019, tidak perlu menuliskan kata ‘tanggal’
  7. Dalam standar media online, satu paragraf, 4-5 kalimat.
  8. Kalau di Mojok pakainya “nggak” bukan “enggak”. “nggak apa-apa” bukan “gapapa”
 Dah ah segitu dulu. Semoga bermanfaat 😀




Older Posts

ABOUT ME

Nama lengkap sesuai akta lahirku, Lu'lu'il Maknun.
Mereka kerapa menyapaku, Lulu Erzed.
Kalian bisa menemukanku dimana saja.
Aku juga bisa menjadi siapa saja.

FOLLOW ME

Labels

Cerpen Cuitan Diary Mutiara perempuan pesantren Puisi Review Buku Tips

recent posts

Blog Archive

  • Januari (1)
  • Agustus (1)
  • Mei (1)
  • Desember (2)
  • Oktober (1)
  • Juli (4)
  • Mei (2)
  • Maret (5)
  • Januari (1)
  • Desember (1)
  • November (1)
  • September (1)
  • Agustus (4)
  • Juli (1)
  • Desember (1)

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates