![]() |
Pict Pinterest |
Di sela obrolan ringan sore itu, perempuan dihadapanku tetiba mencetus,
“Kalau begitu
aturan mainnya, pantas saja sampai saat ini aku masih belum laku”, cetus Anna.
“Parasmu ayu, Ann”,
tenangku.
“Baru saja kau
bilang, kalau laki-laki itu pasti cari perempuan yang pintar.”
“Kan tidak semua
laki-laki”
Obrolan sore
terhenti seketika setelah pembahasan
tersebut. Anna memutuskan untuk pamit, ku ditinggalkan setelah tegukan kopi terakhirnya, kemudian ku amati langkah kesal Anna meninggalkan
warung kopi.
“Sudah biarkan
saja, esok juga sembuh”, batinku dengan sangat paham bagaimana karakter Anna.
Aku masih saja
heran atas karakter perempuan yang rata-rata semenyebalkan itu. Sulit diajak
diskusi, sukanya mengedepankan emosi. Pantas saja perempuan jarang sekali bisa
menikmati kopi. Menikmati? Bahkan dalam hal menyeduh kopi pun sepertinya lebih
lihai laki-laki.
Mari kembali ke
topik Anna.
Perempuan ayu
berparas manis khas Jawa bagian barat tersebut selalu berhasil menyelinap dalam lamunanku yang
akhir-akhir ini kerap kali memikirkan siapa atas nama jodoh yang dipersiapkan Tuhan
untukku. Anna, aku tau jika dia
sebenarnya adalah perempuan cerdas. Hanya saja dia terlalu tertutup takut
berbicara di depan publiknya.
“Nadir”, pesan
teks berisi sapaan muncul dari genggaman ponselku. Kan, sudah ku bilang.
Perempuan satu ini tidak terbiasa meninggalkanku lama-lama.
“Ann, kamu
sekarang jadi pasanganku ya”, ku balas teksnya.
“Maksud kamu?”
“Maksud aku,
kamu jadi pasanganku. Tapi dengan satu syarat”
“Apa?”
“Kamu harus
rajin baca buku dan setiap malam sebelum
tidur, kita harus berdiskusi untuk menyelamatkan dunia”
“Oke”
Kata orang, aku
pandai membaca lawan. Jawaban sesingkat itu, kemudian mengiyakan tawaranku
adalah jawaban cukup aneh. Perempuan yang biasanya selalu ingin membutuhkan
alasan dan kejelasan. Berbeda dengan Anna, dia memang cukup berbeda di kalangan
perempuan. Tetapi juga masih cukup banyak persamaan sifat dasar perempuan pada
umumnya. Dia tetap sama, dia bukan penikmati kopi hitam bahkan sudah lima bulan
mengenalku, dia tetap saja tak berani mencicipi kopi hitam yang seringkali ku
pesan di warung kopi langgananku.
“Ann, pesan apa?
“Cappucino saja”
“Bang, kopi hitam
dua”, pesanku kepada barista- sambil dibalasnya senyum terkekeh menatap tatapan masam Anna.
“Ann,
sekali-kali kamu harus merasakan kopi ini. Aku yakin setelah kamu menyeduh dan
menikmatinya, kamu akan lebih bisa memaknai hidup. Kamu akan lebih bisa
menerima segala garis yang tak sesuai harapmu. Kamu akan tidak lagi menjadi
perempuan penggalau atau pengeluh atas hidupmu, yang biasanya kamu tuliskan
dalam status atau cerita di media sosial kamu. Kamu akan jadi perempuan yang
lebih sabar, kamu akan jadi perempuan indah, kamu akan jadi perempuan cantik
seutuhnya. Kamu akan lebih jadi
perempuan idamanku”
Balasnya hanya dengan mengernyitkan dahi- bersamaan dengan datangnya
barista membawa kopi hitam pesananku.
“Percayalah. Silahkan diseduh, Nona Anna. Mumpung belum dingin”.
Satu minggu sekali, menjadi rutinitasku dan Anna
untuk menyeduh kopi, membaca buku, dan berdiskusi bersama. Bukan mendiskusikan
bab cinta atau perihal hubungan kita. Sekali lagi, selalu dalam upaya
menyelamatkan dunia. Apapun yang bisa kita bicarakan dan harus mendatangkan kemanfaatan.
“Ann, sudah satu
tahun lebih kita bersama. Bahkan perayaan satu tahun hari jadi pun kita tak
punya tanggal. Ah itu tidak penting. Bagaimana? Kamu masih saja merasa dirimu
adalah perempuan bodoh?”, tanyaku pada suatu akhir pekan yang entah itu adalah
Sabtu keberapa yang kita habiskan bersama.
“Terimakasih,
Nadir”
“Tabu”
“Mengapa tabu?”
“Kamu saja belum
berterimakasih ke orangtuamu. Sebab mereka telah melahirkan perempuan ayu nan
cerdas sepertimu. Berterimakasihlah kepada mereka yang telah mendidikmu, baru
berterimakasih padaku”
Balasnya tersenyum. Senyum manis yang kulihat hanya sepekan sekali.
“Terimakasih
untuk apa?”
“Terimakasih
telah menjadikanku sebagai perempuan yang tidak merasa bodoh lagi”.
“Sama-sama,
Anna. Kamu menjadi
penyuka kopi hitam pun sudah cukup bagiku. Sebab itu adalah muasalmu menjadi perempuanku”.
"Baik, Nadir. Sekali lagi terimakasih. Selamat malam"
"Selamat malam, Ann"