twitter instagram

LULU ERZED

Pict Pinterest
Kamuflase (satu)
kita sama berpura,
sampai engap di paru
kau mengadu,
aku mengadu
tapi tidak untuk saling mengadu

Kamuflase (dua)
bersembunyi, diam mendamba
bersembunyi, diam merindu
bersembunyi, diam mendo'a
sampai kita terlalu nyaman di balik peraduan persembunyian

Kamuflase (tiga)
kita dalam samar,
kau menjelma yang lain, begitu juga aku
kita sama malas menjadi diri,
kita termakan ego pribadi

Kamuflase (empat)
sampai kapan aku dan kau menikmati penyamaran?
bukan penyamaran sebenarnya
kita saling membohongi diri
kita saling ego
kita saling membiarkan rasa

Kamuflase (lima)
dalam topeng menjamur menjelma kita yang bukan kita
menurut aku, entah dengan kamu

Pict Pinterest

“…Perenungan dan segala tanya yang membersamai kehidupanku, menjadikanku semakin hidup atau kadang mati seketika…”

Riuh gesekan sandal santri dan tanah di halaman depan kamar membangunkanku dari mimpi buruk pagi itu. Tidur habis subuh menjadi kebiasaan yang sulit sekali ku hindari setahun belakangan ini, semenjak ngaji bandongan pagi Kiai Baha diganti bada magrib  dan jam pagi diganti dengan murojaah bersama Nadhom Alfiyah.

Bukan apa, aku sudah bosan mengulang-ulang Alfiyah selama enam tahun di pesantrenku yang dulu, sebelum ini.

“Mendapati takziran, ah sudah biasa”, batinku.

Aku lebih memilih di kamar menikmati pagiku bersama Hikam-nya Ibnu Athaillah atau sekadar mendengarkan alunan lagu-lagu Nasida Ria yang pernah tenar pada masanya- seperti Kota Santri, Perdamaian, Tahun 2000, Wajah Ayu Untuk Siapa, dan masih banyak lainnya- Mungkin saat itu aku masih duduk di Sekolah Dasar, tahun 90’an.

Bermacam perenungan hidup hampir setiap hari menjelma di depan mataku, seperti menghantui namun aku sendiri tidak tahu atas dasar apa mereka seringkali datang tanpa ku undang. Pernah perenunganku datang ketika aku mendengarkan lirik lagu Nasida Ria pada awal tahun sewindu era 2000. Aku mengamati lirik demi lirik yang diciptakan oleh Kiai Buchori Masruri, mantan ketua PWNU Jawa Tengah tersebut sambil menyanyikannya pelan. Lirik lagu tahun 80-90’an yang masih sangat relevan sampai sekarang.

“…banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai…”

“Da, kamu itu ngapain to, kok dengerinnya lagu jadul. Lagunya Ibu-Ibu pula”, salah satu teman menghampiri saat aku tengah menikmati lirik-liriknya yang begitu dalam makna.

“Apa yang salah?”

“Avenged Sevenfold lebih menarik lho ini”

Mereka menganggap kalau lagu-lagu Nasida Ria itu jadul, lagunya Ibu-Ibu, ndeso, dan tidak kekinian. Saat itu memang sedang ramai lagu Avenged Sevenfold, apalagi lagunya yang Dear God. Anehnya, aku sama sekali tidak tertarik. Aku sendiri saja menyadari bahwa aku aneh apalagi santri-santri yang lain, wa bil khusus mereka yang selalu tidak ingin dicap sebagai santri yang ketinggalan zaman.
___

“Iblis kuwi pinter tapi tidak manut, Malaikat kuwi manut tapi tidak pinter, lah Menungsa kuwi wis ora pinter tur ora manutan”, tutur Kiai Baha di sela penjelasannya pengajian kitab Sulamuttaufiq bab taubat malam itu.


Seketika aku berpikir- bagaimana caranya agar aku menjadi manusia yang setengah Iblis dan setengah Malaikat?

Lama-lama aku seperti orang gila memikirkan yang seperti ini. Aku merasa aku adalah manusia seutuhnya yang memang tidak pinter, apalagi manutan.

“lha wong dhawuh Kiai saja aku sering ngeyel.”

“Wizda”, sontak aku terkaget mendengar bentak Kang Zainal sambil menepuk pundakku dari samping.

“Kok kerjaanmu ngalamun wae”, lanjutnya.

 “Aku yo ndak tau, Kang. Kok mesti ada saja yang mengganggu kepalaku”

“Jangan banyak mikir yang ndak penting, bisa gila kamu”

Kang Zainal paham betul dengan aku yang  seperti ini. Dia juga satu-satunya senior pondok yang dekat denganku dan selalu siap sedia kalau aku ajak rutinan ke maqbaroh Mbah Yai tiap malam Jumat. Keunikan Kang Zainal, dia hapal betul manaqib Syekh Abdul Qodir Jailani, sampai-sampai buku manaqib yang sebesar pas di kantong itu selalu dibawanya kemanapun, katanya itu dijadikan jimat yang bisa melindunginya dari mara bahaya. Ada-ada saja dia ini.

“Mbah, kulo diakui santrine njenengan mboten? Lha wong kulo ngaos mawon kesed”

“Aku mbiyen, seneng banget ngaji hikam. Kok tak delok-delok santriku sing paling semangat ngaji hikam mung kowe le, tutukno yo”

“Terus pripun Mbah Yai?”

Mbah Yai belum menjawab apa-apa, kemudian pergi begitu saja. Aku terbangun dari mimpi di maqbaroh tengah malam itu. Kang Zainal rupanya juga tertidur. Hatiku semakin gusar sebab dalam mimpi, Mbah Yai tidak menjawab pertanyaanku. Apa aku diakui Mbah Yai sebagai santrinya dengan adanya diriku yang seperti ini? Lalu aku ngaji hikam ke siapa? Aku butuh guru, Mbah.

Dan sampai saat ini aku belum berani meminta Kiai Baha untuk membimbingku ngaji hikam.
___

Membandingkan teori evolusi Charles Darwin dan teori evolusi ala Jalaludin Rumi adalah wacana yang membuatku tertarik akhir-akhir ini. Perbedaan pandangan tentang hidup sebagai sebuah proses transmutasi alam. Darwin mengatakan evolusi berasal dari seleksi alam, sedang Rumi mengatakan bahwa tidak mungkin ada evolusi tanpa ada subyek dan objek cinta sebagai alat penggeraknya.

“Ah, untuk apa aku mikir seperti ini sih”, eluhku saat menyadari sepertinya sia-sia kalau hidupku hanya untuk memikirkan perbedaan pandangan teori evolusi bumi.
Berbagai macam perenungan sederhana hingga segala macam tanya yang membuatku sering merasakan sakit kepala akibat memikirkan hal yang seharusnya memang tidak perlu untuk dipikirkan sewajarnya manusia.

“Da, Ayo ikut aku ke kota”, ajak Kang Zainal setelah piket roan hari Jumat.

“Mau ngapain?”

“Sudah ikut aku saja”

Sampai di kota, Kang Zainal ternyata mengajak ke sebuah tempat rehabilitas. Aku tidak tahu apa maksudnya. Jangan-jangan aku mau dimasukkan ke sini, pikirku.

“Kamu kok ketakutan?”, tanya Kang Zainal sambil menatap kepanikanku.

“Kita mau nyambangi Kang Dul, dia dulu mondok di pesantren sama seperti kita. Setahun sebelum kamu datang, Kiai Baha menitipkannya ke sini. Berawal dari sama seperti kamu ini, sering ngalamun ndak jelas, sering mikir perkara aneh-aneh, sampai akhirnya pihak pesantren sudah kuwalahan dengan psikis Kang Dul. Sekarang dia sudah lumayan sehat, Da”, terangnya seperti memahami apa yang ada dalam pikirku.

Aku meng-iyakan perkataan Kang Zainal, sambil menunggu Kang Dul yang baru dipanggilkan petugas. Mataku berkeliling melihat pasien-pasien berlalu lalang dari kejauhan.

“Kang”

“Piye, Da?”

“Kok aku pengen jadi orang gila saja. Orang gila kan sudah tentu ma’sum, pasti nanti aku masuk surga to. Daripada normal kebanyakan dosa”

“Wis mbuh karepmu, Da”

“Hehehe”

(Dimuat di Majalah Almunawwir Tahun 2019) 



Pict Pinterest

Waspada I

“Kau habis dari mana?”

“Biasa, dari tempat belanjanya konglomlarat”

“Merat”

“Iya, sekarang merat. Ku semogakan saja besok dia mlarat”[1]

Aku sebenarnya tidak ingin dibawa mereka, entah siapa yang membawaku ke sini. Padahal aku lebih bahagia bersama orang-orang kecil di sana. Begitu percakapan kecil eluh kesah mereka yang bernasib sepertiku. Aku sedang malas bicara, cukup diam saja mendengarkan.

“Dia punya kita sebanyak ini darimana?” kata sekumpulan dari mereka yang baru saja datang.

“Baru dua tahun ini kepergian Ayahnya. Warisan terbanyak diberikan padanya. Anak laki-laki satunya, juga setahun lalu perusahaan ayahnya menang tender yang ditawarkan sebelum Ayahnya meninggal, kemudian keuntungannya berhasil diterima si bossmu sekarang itu.”

“Oalah begitu”

“Begitulah”, kemudian kami menutup pembicaraan pada malam hari itu, pun juga rumah sudah sepi. Hanya ada suara tawa rayap hendak memulai aksinya. Bukan binatang jalang tapi liarnya kalau malam. Terkadang satu dari kami ditemukan sudah tidak utuh paginya. Bos kami pun sering lupa naruhnya sembarangan.

Sedang aku merasa aman disini, sebuah ruangan yang tertutup rapat dengan kode kunci yang hanya dia saja yang tahu. Anak istri pun tidak diberi tahu. Entah penyakit apa yang sedang menimpa dia sekarang. Sampai-sampai keluarganya sendiri pun tidak dipercayainya.

“Selamat malam”, pamit si merah kepada yang lain.

Waspada II

Pukul tujuh pagi ini sudah ada rekannya datang, yang aku tau persis kalau dia seorang pengoleksi volkswagen berbagai tipe, dari beetle sampai VW polo pun ada. Keren memang.
Ayahnya yang dulu sempat melarang dia mengoleksi volkswagen yang alasannya karena sayang kalau tidak dipakai nantinya hanya buat pajangan. Namun setelah kepergian ayahnya dia lebih bebas, lebih merdeka tanpa ada larangan yang mengikatnya. Anak istrinya pun tak ada yang berani melarangnya.

Ternyata pamitnya si merah semalam mewakili sekawanannya juga. Hari ini mereka pergi meninggalkan kami. Mereka dibawa ke ruang depan menemui tamu yang bernama Ardi, pengoleksi VW.

“Kau berani tawar berapa?”

“200”, sambil membuka tas besi dengan menunjukkan ratusan juta yang dimiliknya.

“200? Hahaha. Itu cukup buat harga sewa boss”

“Kau minta berapa?”, katanya dengan nada menantang.

“800 saya kasih mobilnya Pak”

“Siap”. Mereka berjabat tangan.

“Tunggu sebentar ya” Kembalinya dia ke ruangan kami, mengambil lagi sekawanan si merah senilai 800 juta. Kami semua diam, pasrah akan keangkuhannya.

“Persediaan masih banyak”, gumamnya sendirian sambil menatap kami dengan tawa sinis.

Beberapa saat kemudian mobil itu sudah menjadi pajangan di garansi rumah Hari. Garansi rumah berdinding kaca namun terkunci rapat, meskipun aman di dalamnya namun siapapun yang lewat tetap bisa melihatnya.

Waspada III

Ku dengar sebentar lagi akan ada pilkada. 2019 menjadi tahun politik di negeri ini, terlebih di jawa bagian barat pasti tahun ini akan ramai. Ajang ini menjadi yang ditunggu-tunggu oleh Hari. Bermodal sarjana hukum keluaran salah satu universitas ternama, uang banyak, dan juga pamor ayahnya yang saat itu pernah menjadi kepala daerah yang disegani.

Sebelum ijin kepada istri dan sanak keluarganya, hari-hari sebelum dia benar-benar memutuskan untuk terjun di sana, tamu mulai silih berganti berdatangan ke rumahnya. Entah dari rekan kerjanya, atau dari rekan partainya.

Malam itu ia hendak ijin ke istrinya. Ku kira istrinya tidak setuju, karena Hari sendiri belum pernah berpengalaman terjun ke politik.

“Mi, aku nyalon ya”, tanyanya kepada sang istri.

“Sok atuh, Pa” jawab istrinya santai ternyata karena janji-janji manis suami atas kehidupan masa depan yang dijanjikannya.

Beberapa bulan kemudian seluruh prosedur telah dilewatinya. Berbagai trik segala cara dilakukan untuk kampanye sampai keluar ratusan juta. Sisa kami masih saja ada, dan belum habis-habis juga. Meskipun ada kekhawatiran padanya, pun selalu menjadi kekhawatiran pada kami. Keluarga kami di brankas ini tidak sebanyak dulu lagi.

“Kami bersedih hanya untuk kebahagiaannya” keluhku pada mereka.

Akhir Kewaspadaan

Sebentar lagi pesta perayaan kemenangan akan dimulai. Kewaspadaan yang ku takutkan akan segera terjadi. Bahkan aku ingat atas doa yang ku semogakan kalau dia suatu saat nanti akan mlarat.
Aku yang menjadi sisa dari banyak yang telah habis dimakan olehnya, sang konglomlarat. Firasat buruk melandaku malam ini.

Dan benar, Duuum !

Perayaan sesungguhnya telah datang. Suara dentuman bom menggelegar dari halaman luar tempat Hari berpesta bersama seluruh bagian dari tim suksesnya. Sepersekian detik sudah memporak-porandakan seluruh isi rumah. Semua tamu berteriak seketika tragedi menghancurkan pesta malam itu.

Ternyata bom itu berasal dari pihak lawan yang sama dengannya, sama-sama mengandalkan seberapa banyak uang yang disuguhkan. Namun keberuntungan masih berpihak pada Hari. Seluruh tamu dalam acara itu berhamburan mencoba menyelamatkan diri. Namun nasib tidak berpihak pada Hari dan istrinya. Mereka telah hangus termakan api, dan juga sebentar lagi aku juga akan lenyap bersama mereka.

Biar nanti aku berpesta merayakan hari bahagia ini bersama kawan-kawanku yang telah menjadi abu. Perayaan atas kepergiannya. Kepergian seorang konglomerat yang tak pernah mensyukuri hartanya.
Teringat kata sesepuhku dulu, “Bukankah segala kewaspadaan akan jadi kenyataan?”

“Hahaha”, kami mengakhiri pesta ini dengan serentak gelak tawa.




[1] Mlarat (jawa) : orang tidak punya harta kekayaan

(Dimuat dalam Antologi Cerpen "Di Surga Tak Ada Tong Sampah" LPM Arena)
Pict Pinterest
28… 27... 26…

Angka itu tetap berjalan, tak pedulikan siapapun yang memperhatikan. Bukan mencari perhatian tapi memang ditakdirkan berdiri dipinggir sana. Siang, malam, panas, badai mana pernah dia hiraukan.

Baginya,“Ini aku. Aku berdiri disini untuk dan demi mereka”
Begitulah mungkin isi hati yang tak sanggup diungkapkan. Begitu mulia dan tanpa lelah ia jalani hari-harinya. Dia terus berjalan.
___

10...9...8...

“Ayo, tujuh detik lagi kita beraksi” Teriakku sambil ku persiapkan untuk aksiku kali ini, tepat pukul 13.00 WIB . Matahari mungkin tertawa melihat kami. Lusuh, kucel.
Sepersekian menit aku berdiri di depan mereka, para pemilik Honda, Yamaha, entah sekawanan orang dengan kesibukan berbeda. Tak peduli siapa mereka. Namun aku percaya, mereka adalah sebagian dari secuil orang yang masih peduli pada kami. Entah berapapun aku terima.


“Terimakasih” Tak ada kata lain yang aku ucapkan setiap harinya. Sedikit kuselipkan senyum. Begitu pun jika tanpa mereka mungkin aku bukan siapa siapa.


Semakin berat juga waktu terus berjalan, terasa begitu pengap dunia siang ini. Bergelut dengan asap-asap hitam. Kepulan-kepulan yang membuatku semakin sesak, juga karena beratnya topeng yang menutupi wajahku. Semakin membuat ku pening saja.
___

100... 99… 98...
Kulihat angka hijau itu masih lama untuk mengubah warnanya.
“Ayolah, kalian jangan malas seperti ini, kalau kalian tidak semangat nabuh musiknya, aku juga ikut gak semangat.” protesku pada mereka, para pemain musik. Sekawanan seperjuanganku yang mereka adalah sepertiga dari bagian hidupku.

“Bagaimana aku bisa semangat ? ini hari Imlek, pantaslah. Kan pada libur”, keluh Hendra.

“Iya, aku tahu”, hampir ku ikut berputus asa. Namun tetap kugebrak mereka, juga 2 kawanku yang juga menjadi pemeran sepertiku. Seperti inilah, demi kuliah kami selesai, jalanan adalah tempat kami beradu dengan peluh-peluh harapan tak pasti.

Separuh hidupku bahkan ada di tangan angka merah, menghirup gas karbon dioksida yang berkeliaran di depanku, sudah tiga tahun aku bermetamorfosa di perempatan jalan ki hajar dewantara ini.
___

74…73…72…

Masih ada sisa sekitar satu menit lebih untuk penampilan terakhir sore ini. Kupikir sudahlah untuk hari ini, sekian saja. Tak ada hasil sebanyak hari biasanya. Jalanan sepi mungkin ramai hari ini tepat di 0 Km taman kota dekat alun alun sana.

“Selamat sore, Nak. Kalian sore seperti ini ternyata masih disini?”, suara itu meluncur dari jendela Luxio yang terparkir di pinggiran trotoar tempat kami berkemas.

“Siapa dia?” Kami saling berbisik heran.

Saat senja mulai menghilang, berganti dengan gemerlap bintang. Kini kami sudah berada di atas panggung 15 X 5 meter. Ya, diatas panggung “Art Festival 2015” wajah kusut kami sudah tak lagi terlihat, empat puluh lima menit lalu kami dibawa ke ruang make up, dihadapan dan disaksikan berjuta mata yang memberikan kesan sesimpul senyum kagum. Ini bukan mimpi.



“Terimakasih Tuhan” Bisikku dalam batin.

Kebahagiaan itu ada. Apresiasi yang ku dapatkan malam ini, trophy award “ The Best Show Tonight” kini sudah ada di genggamanku.
___
Kembali esok aku beradu dengan kepulan-kepulan asap itu lagi. Penghargaan malam itu yang membuatku tetap semangat. Tiga warna yang menjadi saksi peraduanku kepada dunia.

03….02…01...

Semua mobil motor berhenti. Drama pun dimulai, suara musik kini lebih menyeruak gelegar. Nyaring. “Terimakasih” hanya satu kata itu yang bisa kuucapkan pada setiap orang yang rela menyisihkan sedikit hartanya untuk kami. 

(Dimuat di Rubrik Remaja Harian Kedaulatan Rakyat tahun 2015)
Pict Pinterest

“Ctek… ctek… ctek…
”Klek”
"Huh,  ingin ku banting saja kau”
Begitu ironisnya, satu-satunya warisan eyang yang sampai sekarang masih setia membawa namaku. Ku sentuh perlahan kusam parasnya yang sedari tadi aku mencacinya.
Bagaimana dengan ketertinggalanku pada era saat ini?
Apa aku harus menghianati pesan Eyang yang dititipkan kepada Ibuku?
              ___

     Aku selalu dihina, dicacinya. Salah apa aku? Ku pikir aku tidak kalah hebatnya dengan dia. Dia yang berjaya pada zaman sekarang. Pemuda-pemudi yang saat ini selalu mengunggulkannya.



“Banting saja aku, aku terlalu lemah untuk melawanmu, pemuda tampan,” Ucapku padanya, meski aku terlahir ditakdirkan terkulai bisu seperti ini. Tapi perasaan itu ada, aku punya rasa, dan aku berhak mengungkapkan rasa apa yang aku alami saat ini.



“Emak, sampai kapan aku berkutik dengan dia?” Tukasnya sembari mengangkat telunjuk kearahku. Biar aku tetap diam, begini aku juga punya wujud. Aku bisa melihatmu, melihat tekuk wajahmu. Wajah yang sudah sangat bosan denganku.

“Warisan Eyang tetap kamu pakai, rawat dia, percayalah” Jawab majikanku, yang selalu membelaku di depannya. Lirihku dalam hati “Terimakasih Nyonya,” Sayangnya bibirku bungkam,aku tak bisa bersuara.

Sebelum Izrail melepas ruh majikan tuaku, beliau berpesan untuk anak tunggalnya, bahkan beliau tahu bahwa cucu yang akan lahir dari rahim anaknya itu, akan menjadi pewaris gen beliau.

        “Pesan kakek, satu yang tidak boleh dikeluarkan dari rumah ini, mesin ketik ini, yang nanti akan melahirkan anak yang bisa membuatmu bangga, asal kamu suruh anakmu nanti untuk selalu memakai mesin ini.”Seperti itu yang aku dengar, saat majikan tuaku terkulai lemah tak berdaya di ranjang samping tempatku diberdirikan, saat itu.
___

“Klek” aku mengeluarkan suara itu “lagi”. Padahal aku tak menginginkan suara itu keluar, terlalu bosan dengan cacian yang dilontarkannya.

Kini aku sedang terhanyut dengan jamahan tangannya, satu karya terbaik dari hasil olah idenya. Aku tahu, karya pemuda ini tak kalah hebatnya dengan penulis muda di tengah kota-kota besar di luar sana.

“Alhamdulillah, hanya satu kali patah.” Syukurnya. Karena mungkin kali ini hanya dipakai 3 jam, tidak terlalu lama, karena itu aku tidak terlalu lelah dimainkan. Satu karya yang baru saja ia selesaikan, aku yakin akan berbuah manis. Lagi-lagi aku merasakan sentuhan lembut dari kain yang digoyangkan majikanku, mengelus tubuhku yang renta,lalu menyelimutiku.

“Mak, aku izin ke kantor pos.”

“Iya, hati-hati Nak” Ia kecup punggung tangan ibunya sekalian menerima uang untuk membayar perangko.

Semburat mentari memercik hingga menusuk sela ruas-ruas tulang yang menyangga tombol di tubuhku. Aku tak bisa berjalan untuk meneduhkan tubuh reyotku dari panas matahari.

“Tunggal Mahendra… pos… pos… “ Aku terbangun saat teriakan tukang pos melesat masuk menusuk telingaku. Begitulah di desa ini, semua dilakukan dengan teriakan-teriakan. Namun anehnya tidak ada yang merasa terganggu. Kulihat Ia membuka pintu kamarnya, tak bisa ku berjalan mengikuti pemuda itu, hanya saja aku mengintip dari jendela kamar. Tetap aku berdiam diri, di kamar tunggal.

“Yey, lihat ini Mak” Hanya itu yang aku dengar, aku tetap terdiam di kamarnya. Namun aku mendengar pembicaraan mereka. Aku bisa menyimpulkan pembicaraan yang terdengar seperti kabar gembira bagi mereka. Baru saja Tunggal menerima surat dari redaksi salah satu majalah. Ia berhasil memenangkan lomba tulis cerpen dan sekarang dimuat di majalah tersebut. “Wuuuuih, lumayan juga honornya”. Aku turut merasakan, apa yang dirasakan majikan mudaku. Bahagia.

Belum lama aku turut merasakan kebahagiaan itu. Tiba-tiba…

“Dimana aku?” Tak tahu dimana aku, hitam yang ada di depanku sekarang. Sinar matahari pun tidak mampu membuatku untuk menerawang keadaan luar. Bagaimana aku bisa keluar dari kegelapan ini? 
Tolong aku majikan…
____

Sepertinya lama sudah aku berada di dalam ruangan sepi, pengap nan berdebu. Aku tetap bertahan, meski cairan yang ada dalam tubuhku semakin dingin membeku.

“Maafkan aku Eyang”, aku mendengar nada sendu mengucapkan kalimat itu. Aku tahu betul itu suara siapa. Ya, itu suara tunggal. Ingin rasanya aku melihat pemuda tampan itu, dan ingin ku bermain dengan jemarinya. Jemari yang sangat pandai memainkan huruf di tubuhku. Aku ingin mengantarkannya sampai ia benar-benar akan dikenal oleh dunia.

“Hah!“ Akhirnya aku terlepas dari sesak yang berbulan-bulan aku derita, tak tahu lagi kini aku dibawa kemana,kurasakan tangannya mengangkat tubuhku,hati-hati. Aku tersentak kaget, saat ini aku disandingkan dengan dia yang berparas mewah, seperti yang selama ini aku tahu, itu dia yang diimpikan Tunggal. Sekarang dia tepat di sebelahku. Sungguh, aku malu disandingkan dengan dia yang segagah itu.

Saat ini, jemarinya mulai merabaku, aku merasakan ada yang berbeda dari sentuhan sebelumnya. Sedang aku bisa merasakan jejeran huruf yang dimainkannya saat ini, berbunyi :

“Maafkan aku Eyang, aku tak tahu akan apa yang terjadi jika aku tidak memenuhi amanatmu. Saat ini aku berada di titik kegagalan. Mungkin ini akibat aku tidak mematuhimu…”

Begitu alinea pertama dilanjutkan baris demi baris membentuk indah rangkaian kata. Rupanya, selama ini aku terpuruk di gudang belakang, tergantikan oleh barang mewah itu. Namun barang mewah itu tak membawanya dikenal dunia. Keterpurukanku ternyata membuatnya berbalik terpuruk. Saat ini aku dikembalikan di kamar ini, itupun karena aku dipanggil redaksi-redaksi Koran. Kata mereka, tulisan Tunggal berbeda semenjak ia menjuarai lomba itu.
___

"Klek" Kenapa aku mengeluarkan suara itu lagi? Disaat aku berdiri, ditengah banyak orang melihatku. Disaat aku dikenalkan Tunggal kepada dunia. Sangat memalukan, bahkan memilukan.  Aku semakin lemah, sungguh aku tak ada daya untuk kali ini.

“Maafkan aku Tunggal, aku tidak sepenuhnya bisa mengantarmu sesuai permintaan eyang. Aku masih merasa banyak hutang budi pada majikan tuaku. Tapi aku benar-benar sudah  tak mampu lagi untuk bangkit deminya. Umurku sudah semakin habis dimakan waktu. Cairan dalam tubuhku sudah semakin beku, ruas-ruas tulang penyanggaku pun sedah renta.

Maaf, sejak itu aku tak dapat menemani dia lagi, karena aku sudah ada di tempat indah. Tempat yang dikhususkan majikanku untuk menjadi tempat singgah terakhirku. Terima kasih.

Semoga tanpaku Tunggal tetap menjadi penyair yang sanggup mengubah dunia. Saat ini, aku sudah nyaman dengan tempat peristirahatanku sekarang.

Mengertilah aku Eyang. 


Cucumu tetap sanggup berdiri tanpaku, si tua yang sudah saatnya memang tak berhak lagi hidup di singgasana indah, seperti dulu lagi.

(Dimuat di Majalah Bangkit DIY tahun 2015)
Newer Posts
Older Posts

ABOUT ME

Nama lengkap sesuai akta lahirku, Lu'lu'il Maknun.
Mereka kerapa menyapaku, Lulu Erzed.
Kalian bisa menemukanku dimana saja.
Aku juga bisa menjadi siapa saja.

FOLLOW ME

Labels

Cerpen Cuitan Diary Mutiara perempuan pesantren Puisi Review Buku Tips

recent posts

Blog Archive

  • Januari (1)
  • Agustus (1)
  • Mei (1)
  • Desember (2)
  • Oktober (1)
  • Juli (4)
  • Mei (2)
  • Maret (5)
  • Januari (1)
  • Desember (1)
  • November (1)
  • September (1)
  • Agustus (4)
  • Juli (1)
  • Desember (1)

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates