Adalah Hari Raya Sesungguhnya
![]() |
Pict Pinterest |
Waspada I
“Kau habis dari mana?”
“Biasa, dari tempat belanjanya konglomlarat”
“Merat”
“Iya, sekarang merat. Ku semogakan saja besok dia mlarat”[1]
Aku sebenarnya tidak ingin dibawa mereka, entah siapa yang membawaku ke sini.
Padahal aku lebih bahagia bersama orang-orang kecil di sana. Begitu percakapan
kecil eluh kesah mereka yang bernasib sepertiku. Aku sedang malas bicara, cukup
diam saja mendengarkan.
“Dia punya kita sebanyak ini darimana?” kata sekumpulan dari mereka yang
baru saja datang.
“Baru dua tahun ini kepergian Ayahnya. Warisan terbanyak diberikan padanya.
Anak laki-laki satunya, juga setahun lalu perusahaan ayahnya menang tender yang
ditawarkan sebelum Ayahnya
meninggal, kemudian keuntungannya berhasil
diterima si bossmu sekarang itu.”
“Oalah begitu”
“Begitulah”, kemudian kami menutup pembicaraan pada malam hari itu, pun juga rumah sudah sepi. Hanya ada suara tawa rayap hendak memulai aksinya. Bukan
binatang jalang tapi liarnya kalau malam. Terkadang satu dari kami ditemukan
sudah tidak utuh paginya. Bos kami pun sering lupa naruhnya sembarangan.
Sedang aku merasa aman disini, sebuah ruangan yang tertutup rapat dengan
kode kunci yang hanya dia saja yang tahu. Anak istri pun tidak diberi tahu.
Entah penyakit apa yang sedang menimpa dia sekarang. Sampai-sampai keluarganya
sendiri pun tidak dipercayainya.
“Selamat malam”, pamit si merah kepada yang lain.
Waspada II
Pukul tujuh pagi ini sudah ada
rekannya datang, yang aku tau persis kalau dia seorang pengoleksi volkswagen
berbagai tipe, dari beetle sampai VW polo pun ada. Keren memang.
Ayahnya yang dulu sempat melarang dia mengoleksi volkswagen yang alasannya
karena sayang kalau tidak dipakai nantinya hanya buat pajangan. Namun setelah
kepergian ayahnya dia lebih bebas, lebih merdeka tanpa ada larangan yang
mengikatnya. Anak istrinya pun tak ada yang berani melarangnya.
Ternyata pamitnya si merah semalam mewakili sekawanannya juga. Hari ini
mereka pergi meninggalkan kami. Mereka dibawa ke ruang depan menemui tamu yang
bernama Ardi, pengoleksi VW.
“Kau berani tawar berapa?”
“200”, sambil membuka tas besi dengan menunjukkan ratusan juta yang dimiliknya.
“200? Hahaha. Itu cukup buat harga sewa boss”
“Kau minta berapa?”, katanya dengan nada menantang.
“800 saya kasih mobilnya Pak”
“Siap”. Mereka berjabat tangan.
“Tunggu sebentar ya” Kembalinya dia ke ruangan kami, mengambil lagi sekawanan si merah senilai 800
juta. Kami semua diam, pasrah akan keangkuhannya.
“Persediaan masih banyak”, gumamnya sendirian sambil menatap kami dengan
tawa sinis.
Beberapa saat kemudian mobil itu sudah menjadi pajangan di garansi rumah
Hari. Garansi rumah berdinding kaca namun terkunci rapat, meskipun aman di dalamnya namun siapapun yang lewat tetap bisa melihatnya.
Waspada III
Ku dengar sebentar lagi akan ada pilkada. 2019 menjadi tahun politik di negeri
ini, terlebih di jawa bagian barat pasti tahun ini akan ramai. Ajang ini menjadi yang ditunggu-tunggu oleh
Hari. Bermodal sarjana hukum keluaran salah satu universitas ternama, uang
banyak, dan juga pamor ayahnya yang saat itu pernah menjadi kepala daerah yang
disegani.
Sebelum ijin kepada istri dan sanak keluarganya, hari-hari sebelum dia benar-benar memutuskan untuk terjun di sana, tamu
mulai silih berganti berdatangan ke rumahnya. Entah dari rekan kerjanya, atau
dari rekan partainya.
Malam itu ia hendak ijin ke istrinya. Ku kira istrinya tidak setuju, karena
Hari sendiri belum pernah berpengalaman terjun ke politik.
“Mi, aku nyalon ya”, tanyanya kepada sang istri.
“Sok atuh, Pa” jawab istrinya santai ternyata karena janji-janji manis
suami atas kehidupan masa depan yang dijanjikannya.
Beberapa bulan kemudian seluruh prosedur telah dilewatinya. Berbagai trik
segala cara dilakukan untuk kampanye sampai keluar ratusan juta. Sisa kami
masih saja ada, dan belum habis-habis juga.
Meskipun ada kekhawatiran padanya, pun selalu menjadi kekhawatiran pada kami. Keluarga
kami di brankas ini tidak sebanyak dulu lagi.
“Kami bersedih hanya untuk kebahagiaannya” keluhku pada mereka.
Akhir Kewaspadaan
Sebentar lagi pesta perayaan kemenangan akan dimulai. Kewaspadaan yang ku
takutkan akan segera terjadi. Bahkan aku ingat atas doa yang ku semogakan kalau
dia suatu saat nanti akan mlarat.
Aku yang menjadi sisa dari banyak yang telah habis dimakan olehnya, sang konglomlarat.
Firasat buruk melandaku malam ini.
Dan benar, Duuum !
Perayaan sesungguhnya telah datang. Suara dentuman bom menggelegar dari halaman
luar tempat Hari berpesta bersama seluruh bagian dari tim suksesnya. Sepersekian
detik sudah memporak-porandakan seluruh isi rumah. Semua tamu berteriak seketika
tragedi menghancurkan pesta malam itu.
Ternyata bom itu berasal dari pihak lawan yang sama dengannya, sama-sama
mengandalkan seberapa banyak uang yang disuguhkan. Namun keberuntungan masih
berpihak pada Hari. Seluruh tamu dalam acara itu berhamburan mencoba menyelamatkan diri. Namun
nasib tidak berpihak pada Hari dan istrinya. Mereka telah hangus termakan api, dan juga sebentar lagi aku juga akan lenyap bersama mereka.
Biar nanti aku berpesta merayakan hari bahagia ini bersama kawan-kawanku
yang telah menjadi abu. Perayaan atas kepergiannya. Kepergian seorang
konglomerat yang tak pernah mensyukuri hartanya.
Teringat kata sesepuhku dulu, “Bukankah segala kewaspadaan akan jadi
kenyataan?”
“Hahaha”, kami mengakhiri pesta ini dengan serentak gelak tawa.
(Dimuat dalam Antologi Cerpen "Di Surga Tak Ada Tong Sampah" LPM Arena)
0 Comments