Teater Tiga Warna
Angka
itu tetap berjalan, tak pedulikan siapapun yang memperhatikan. Bukan mencari
perhatian tapi memang ditakdirkan berdiri dipinggir sana. Siang, malam, panas,
badai mana pernah dia hiraukan.
Baginya,“Ini aku.
Aku berdiri disini untuk dan demi mereka”
Begitulah mungkin isi hati yang tak sanggup
diungkapkan. Begitu mulia dan tanpa lelah ia jalani hari-harinya. Dia terus berjalan.
___
10...9...8...
“Ayo, tujuh detik lagi kita
beraksi” Teriakku sambil ku persiapkan untuk aksiku kali ini, tepat pukul 13.00
WIB . Matahari mungkin tertawa melihat kami. Lusuh, kucel.
Sepersekian
menit aku berdiri di depan mereka, para pemilik Honda, Yamaha, entah sekawanan
orang dengan kesibukan berbeda. Tak peduli siapa mereka. Namun aku
percaya, mereka adalah sebagian dari secuil orang yang masih peduli pada kami. Entah berapapun aku
terima.
“Terimakasih”
Tak ada kata lain yang aku ucapkan setiap harinya. Sedikit
kuselipkan senyum. Begitu pun jika tanpa mereka mungkin aku bukan siapa siapa.
Semakin berat juga waktu terus berjalan, terasa begitu pengap dunia
siang ini. Bergelut dengan asap-asap hitam. Kepulan-kepulan yang membuatku semakin sesak,
juga karena beratnya topeng yang menutupi wajahku. Semakin membuat ku pening
saja.
___
100... 99… 98...
Kulihat
angka hijau itu masih lama untuk mengubah warnanya.
“Ayolah,
kalian jangan malas seperti ini, kalau kalian tidak semangat nabuh musiknya,
aku juga ikut gak semangat.” protesku pada mereka, para pemain musik. Sekawanan seperjuanganku yang mereka adalah sepertiga
dari bagian hidupku.
“Bagaimana
aku bisa semangat ? ini hari Imlek, pantaslah. Kan pada libur”, keluh Hendra.
“Iya, aku tahu”, hampir ku ikut
berputus asa. Namun tetap kugebrak mereka, juga 2 kawanku yang juga menjadi pemeran
sepertiku. Seperti inilah, demi kuliah kami selesai, jalanan adalah tempat kami
beradu dengan peluh-peluh harapan tak pasti.
Separuh hidupku bahkan ada di tangan angka merah,
menghirup gas karbon dioksida yang berkeliaran di depanku, sudah tiga tahun aku
bermetamorfosa di perempatan jalan ki hajar dewantara ini.
___
74…73…72…
Masih
ada sisa sekitar satu menit lebih untuk penampilan terakhir sore ini.
Kupikir sudahlah untuk hari ini, sekian saja. Tak ada hasil sebanyak hari
biasanya. Jalanan sepi mungkin ramai hari ini tepat di 0 Km taman kota dekat
alun alun sana.
“Selamat
sore, Nak. Kalian sore seperti ini ternyata masih disini?”, suara itu
meluncur dari jendela Luxio yang terparkir di pinggiran trotoar tempat kami
berkemas.
“Siapa dia?”
Kami saling berbisik heran.
Saat
senja mulai menghilang, berganti dengan gemerlap bintang. Kini kami
sudah berada di atas panggung 15 X 5 meter. Ya, diatas panggung “Art Festival 2015” wajah kusut
kami sudah tak lagi terlihat, empat puluh lima menit lalu kami dibawa ke
ruang make up, dihadapan dan disaksikan berjuta mata yang memberikan kesan sesimpul senyum
kagum. Ini bukan mimpi.
“Terimakasih Tuhan” Bisikku dalam batin.
Kebahagiaan itu ada. Apresiasi yang ku dapatkan malam ini, trophy
award “ The Best Show Tonight” kini sudah ada di
genggamanku.
___
Kembali
esok aku beradu dengan kepulan-kepulan asap itu lagi.
Penghargaan malam itu yang membuatku tetap semangat. Tiga warna yang menjadi saksi peraduanku kepada dunia.
03….02…01...
Semua
mobil motor
berhenti. Drama pun dimulai, suara musik kini lebih menyeruak gelegar. Nyaring. “Terimakasih” hanya satu kata itu yang bisa kuucapkan pada setiap orang yang rela
menyisihkan sedikit hartanya untuk kami.
(Dimuat di Rubrik Remaja Harian Kedaulatan Rakyat tahun 2015)
0 Comments