twitter instagram

LULU ERZED


Dalam ceritanya, perbincangan Mbah Ali Maksum dengan putrinya yang bernama Nafisah bertanya, “Mengapa saya diberi nama Nafisah?”, Mbah Ali menjawab, “Aku ingin menjadikanmu ulama perempuan”. Ternyata terminologi ulama perempuan telah sejak lama digunakan oleh Mbah Ali Maksum jauh sebelum adanya kongres ulama perempuan Indonesia, jauh sebelum orang memperdebatkan perihal ulama perempuan.  Mbah Ali Maksum konsisten dalam mendorong perempuan untuk menjadi ulama, dimulai dari keluarganya. Seperti, istri dari Mbah Ali Maksum, yaitu Mbah Hasyimah aktif memberikan pengajian kepada masyarakat, juga perlakuan Mbah Ali  dalam mendidik putra putrinya tidak pernah membedakan pendidikan antar keduanya.

Ning Hindun Anisah menceritakan pengalaman beliau sebagai seorang perempuan yang sejak kecil dibesarkan di lingkungan pesantren. Bahwa beliau pernah mondok di suatu pesantren yang mana pengkajian kitab antar santri putra dan santri putri dibedakan tingkat kesulitannya, dengan dikarenakan asumsi santri putri tidak sampai pemikirannya terhadap kitab yang dikaji oleh santri putra. Lalu bagaimana dengan Siti Aisyah, Ummu Salamah, dan Sayyidah Nafisah sebagai gurunya Imam Syafi’i?

Konsistensi lain yang ditunjukkan oleh Mbah Ali Maksum, yaitu sering diminta untuk memberi mauidhoh di acara walimah, dengan memberikan perspektif pandangan feminisme terhadap pengantin, juga lembaga-lembaga pendidikan yang dirintis oleh beliau tidak dibedakan kedudukannya antara santri putra dan santri putri. Mbah Ali terinspirasi dari zaman Nabi, bagaimana Nabi mengakui dengan memberikan ruang kepada para sahabat perempuan untuk menyampaikan hadits saat itu kepada sahabat laki-laki. Dimana pada masa sahabat telah tercatat 1200 perempuan perawi hadits. Bahkan sampai saat ini tidak ditemukan hadits maudhu’ atau hadits palsu yang berasal dari rawi perempuan.

Sejarah tentang kemajuan perempuan sebagai ulama atau pemimpin tidak pernah dimunculkan. Dalam sejarah indonesia sekitar abad 17 sudah banyak pemimpin perempuan. Ratu siluhun menulis tentang hukum, dalam sudut pandang hukum islam dan hukum adat yang ditulis dengan perspektif kesetaraan gender, yang mana hukum tersebut digunakan pada kerajaannya pada masa itu.

Ibu Nyai Choiriyah, putri dari Kiai Hasyim Asy’ari pernah mendirikan sekolah perempuan di Makkah, dengan kondisi disana yang sangat patriarki. Anggota syuriah NU tahun 1950an, dan aktif dalam bahtsul matsail. Namun sampai saat ini belum terlihat kembali perempuan sebagai anggota syuriah NU. Sejarah peran perempuan yang seperti itu seharusnya diketahui oleh pesantren-pesantren. Karena ulama-ulama perempuan di Indonesia adalah lulusan pesantren. Sangat diharapkan pesantren-pesantren turut mengurus santri putri untuk dijadikan kader-kader ulama perempuan.

(Disarikan dari pemaparan Ning Hindun Annisah dalam spesial panel Muktamar Pemikiran Santri Nasional di Pondok Pesantren Krapyak dengan tema “Pesantren, Women Ulama, and Social Transformation: Challenges and prospects”- tulisan dimuat di krapyak.org)




“Dadi bocah wedok iku kudu cerdas, kutho, trengginas”, begitu kalimat yang sering dinasihatkan Ibu Nyai kepada kami.


Sifat cerdas yang dimaksudkan di sini adalah menjadi perempuan itu harus bisa cerdas, pintar dan mampu dalam segala hal.  
Kutho atau kota, bermakna tidak berpikir tertinggal atau kolot. Menjadi perempuan itu harus bisa berpikir maju dan tidak tertinggal atau selalu mengikuti perkembangan zaman, terlebih beliau juga selalu menekankan kepada santriwati agar selalu berpikir modern dan tidak kagetan dalam menghadapi suatu problematika yang ada.
Trengginas yaitu terampil atau kreatif. Bahwa menjadi perempuan itu tidak boleh lemah, harus menjadi perempuan yang giat, ulet, cekatan, mandiri, dan penuh inovasi.

Siapa Ibu Nyai Durroh Nafisah?
Beliau putri keempat dari Kiai Ali Maksum dan Nyai Hasyimah Munawwir. Kelahiran Bantul, 18 Agustus 1954. Di usia yang sudah menjelang lanjut, beliau tetap terlihat muda dan sangat bersahaja. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Komplek Hindun-Annisah dan Beyt Tahfidz An-Nafisah. Satu-satunya putri beliau yaitu Ning Hindun-Annisah, pengasuh Pondok Pesantren Hasyim Asyari Bangsri.

Nama Nafisah sendiri diberikan oleh Ayahandanya, Mbah Ali Maksum dengan maksud supaya nantinya Nafisah ini menjadi seorang ulama perempuan seperti Sayyidah Nafisah, seorang ulama perempuan yang merupakan sang guru dari Imam Syafi’i. Benar bahwa Nyai Nafisah sampai saat ini telah berhasil menjadi sosok inspiratif bagi siapa saja yang mengenalnya, terlebih bagi santri-santri yang dalam kesehariaannya bersama beliau, seperti saya ini. Kepribadiannya yang luar biasa dan sangat pantas disebut sebagai ulama perempuan.

Kepada Santri
Selain petuah yang sering disampaikan di atas, masih banyak sekali nasihat-nasihat beliau yang sering dituturkan kepada para santrinya. Terlebih dalam hal menjaga Kalam Allah, cucu Kiai Munawwir Abdullah Rasyad ini tidak pernah bosan dan selalu memotivasi santri untuk jangan sampai pernah lepas dari Alquran dimanapun berada. Prinsipnya, tidak perlu mengejar duniawi, namun ketika telah menomorsatukan Alquran, maka prestasi dan perihal keduniaan lainnya akan turut menyertai.

Memotivasi dan selalu mendukung santri mengikuti perlombaan sebagai wujud pengembangan diri. Beliau selalu mendukung para santriwati yang akan mengikuti lomba dalam bidang apapun, asal tidak menyepelekan Alquran. Bahkan setiap santri izin untuk mengikuti suatu perlombaan baik akademik maupun non akademik, beliau selalu memberikan izin. Dengan harapan supaya menjadi perempuan itu tidak hanya bisa mengaji dan belajar saja, tetapi juga mempunyai bakat dan keterampilan lain yang bisa dikembangkan dan akan bermanfaat di lingkungan masyarakat.

Demikian nyata dapat kita lihat keberhasilan beliau dalam mendidik Ning Hindun Annisah, putrinya yang sekarang telah dikenal sebagai ulama perempuan, aktivis gender, dan menjadi perempuan yang dikagumi banyak orang, baik di kancah nasional maupun internasional. Tentunya keberhasilan putrinya tersebut tidak lepas dari hasil didikan sang ibunda yang hebat, dan menjadikan putrinya sebagai perempuan luar biasa dan serba bisa.

Pribadi Nyai Nafisah
Perihal tentang kerapian, kebersihan, dan keindahan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Nyai Durroh Nafisah adalah sosok perempuan yang selalu mengajarkan santrinya perihal tersebut. Apalagi sebagai perempuan, prinsip beliau adalah perempuan harus selalu tampil rapi, bersih, rapi, dan tidak kotor atau jorok. Seperti: seragam ngaji harus selalu wangi, kebersihan dan kerapian asrama, sampai-sampai jika terlihat sampai satu helai pun harus dibersihkan. Tidak heran jika dalam setiap harinya beliau selalu terlihat rapi.

Memanusiakan manusia dan sikap toleransi beragama adalah hal yang sering kami lihat dalam kesehariannya, selalu menghormati dan memuliakan siapa saja yang berada di depannya dan dari kalangan manapun. Tidak jarang juga teman-teman beliau adalah perempuan non-muslim dan beliau tetap selalu menghargai setiap orang di dekatnya.

Kedermawanannya, penyayang, perhatian kepada setiap santri, dan bahkan beliau sangat hapal setiap nama santri-santrinya. Dengan demikian setiap santri selalu merasa dekat dengannya. Begitulah sosok Nyai Durroh Nafisah yang menjadi idola setiap santri dan perempuan-perempuan yang mengenal beliau. 

Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan dan keberkahan umur panjang. Aamiin.




Newer Posts
Older Posts

ABOUT ME

Nama lengkap sesuai akta lahirku, Lu'lu'il Maknun.
Mereka kerapa menyapaku, Lulu Erzed.
Kalian bisa menemukanku dimana saja.
Aku juga bisa menjadi siapa saja.

FOLLOW ME

Labels

Cerpen Cuitan Diary Mutiara perempuan pesantren Puisi Review Buku Tips

recent posts

Blog Archive

  • Januari (1)
  • Agustus (1)
  • Mei (1)
  • Desember (2)
  • Oktober (1)
  • Juli (4)
  • Mei (2)
  • Maret (5)
  • Januari (1)
  • Desember (1)
  • November (1)
  • September (1)
  • Agustus (4)
  • Juli (1)
  • Desember (1)

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates