Dalam ceritanya, perbincangan Mbah Ali Maksum dengan putrinya yang bernama Nafisah bertanya, “Mengapa saya diberi nama Nafisah?”, Mbah Ali menjawab, “Aku ingin menjadikanmu ulama perempuan”. Ternyata terminologi ulama perempuan telah sejak lama digunakan oleh Mbah Ali Maksum jauh sebelum adanya kongres ulama perempuan Indonesia, jauh sebelum orang memperdebatkan perihal ulama perempuan. Mbah Ali Maksum konsisten dalam mendorong perempuan untuk menjadi ulama, dimulai dari keluarganya. Seperti, istri dari Mbah Ali Maksum, yaitu Mbah Hasyimah aktif memberikan pengajian kepada masyarakat, juga perlakuan Mbah Ali dalam mendidik putra putrinya tidak pernah membedakan pendidikan antar keduanya.
Ning Hindun Anisah menceritakan pengalaman beliau sebagai
seorang perempuan yang sejak kecil dibesarkan di lingkungan pesantren. Bahwa
beliau pernah mondok di suatu pesantren yang mana pengkajian kitab antar santri
putra dan santri putri dibedakan tingkat kesulitannya, dengan dikarenakan
asumsi santri putri tidak sampai pemikirannya terhadap kitab yang dikaji oleh
santri putra. Lalu bagaimana dengan Siti Aisyah, Ummu Salamah, dan Sayyidah Nafisah sebagai gurunya Imam Syafi’i?
Konsistensi lain yang ditunjukkan oleh Mbah Ali Maksum, yaitu
sering diminta untuk memberi mauidhoh di acara walimah, dengan memberikan
perspektif pandangan feminisme terhadap pengantin, juga lembaga-lembaga
pendidikan yang dirintis oleh beliau tidak dibedakan kedudukannya antara santri
putra dan santri putri. Mbah Ali terinspirasi dari zaman Nabi, bagaimana Nabi mengakui dengan memberikan ruang kepada
para sahabat perempuan untuk menyampaikan hadits saat itu kepada sahabat
laki-laki. Dimana pada masa sahabat telah tercatat 1200 perempuan perawi
hadits. Bahkan sampai saat ini tidak ditemukan hadits maudhu’ atau hadits palsu
yang berasal dari rawi perempuan.
Sejarah tentang kemajuan perempuan sebagai ulama atau
pemimpin tidak pernah dimunculkan. Dalam sejarah indonesia sekitar abad 17
sudah banyak pemimpin perempuan. Ratu siluhun menulis tentang hukum, dalam
sudut pandang hukum islam dan hukum adat yang ditulis dengan perspektif
kesetaraan gender, yang mana hukum tersebut digunakan pada kerajaannya pada
masa itu.
Ibu Nyai Choiriyah, putri dari Kiai Hasyim Asy’ari pernah
mendirikan sekolah perempuan di Makkah, dengan kondisi disana yang sangat
patriarki. Anggota syuriah NU tahun 1950an, dan aktif dalam bahtsul matsail.
Namun sampai saat ini belum terlihat kembali perempuan sebagai anggota syuriah
NU. Sejarah peran
perempuan yang seperti itu seharusnya diketahui oleh pesantren-pesantren.
Karena ulama-ulama perempuan di Indonesia adalah lulusan pesantren. Sangat
diharapkan pesantren-pesantren turut mengurus santri putri untuk dijadikan
kader-kader ulama perempuan.
(Disarikan
dari pemaparan Ning Hindun Annisah dalam spesial panel Muktamar Pemikiran
Santri Nasional di Pondok Pesantren Krapyak dengan tema “Pesantren, Women
Ulama, and Social Transformation: Challenges and prospects”- tulisan dimuat di
krapyak.org)
0 Comments