Bukan
mau ngomongin Grup Band Dunia Kecil
tahun 90an. Bukan juga mau membahas tentang persepsi dunia atau bumi ini besar
atau kecil. Melainkan yang hendak saya ceritakan di pekan keempat ini adalah
dunia kecil, dunianya kanak-kanak.
Ketika
hendak menulis dengan judul ini, tetiba teringat Novel Dunia Kecil karya Yoyon
Indra Joni, yang pernah saya baca sekitar tujuh tahun lalu. Cerita yang
disuguhkan dalam novel bertema dunia persahabatan dan mimpi-mimpi si kecil ini,
berhasil menyatuk dengan kisah yang ada di hadapan saya selama hampir satu bulan di
Dusun Jati, juga kerinduan saya pada masa kanak-kanak lalu.
Kenakalan
natural khas anak-anak desa yang cukup jauh dari hingar bingar perkotaan. Meskipun
tidak bisa dipungkiri juga kalau di dusun ini dunia anak-anaknnya sudah cukup
terbawa arus modernisasi, juga sangat familiar dengan teknologi sejak kecil. Kali pertama saya menginjak kaki di sini, saya kira
bisa menemukan permainan-permainan yang akan mengobati rindu masa kecil saya,
seperti: gobak sodor, layangan, bekel, engkle, petak umpet, lompat tali, dakon, juga permainan
anak tradisional lainnya. Namun di sini masih bisa saya temui kesederhanaan
berpikir anak-anak desa, kepolosan, juga tingkah-tingkah lucu mereka meskipun
kadang juga menyebalkan.
"Rasa-rasanya ingin mengulang masa kecil. Tertawa lepas tiada beban, tiada kegalauan hidup, tiada drama, tragedi, sandiwara. Sejenak menatap mereka lamat, kemudian tenggelam bersama dunianya. Indah."
Cukup
banyak interaksi kami dengan anak-anak dusun. Pagi dari jam 8 sampai 12 siang,
kami meluangkan waktu ikut menemani mereka belajar di PAUD dan Taman
Kanak-kanak, seminggu sekali juga kami mengadakan bimbel tambahan untuk anak
kelas enam SD, setiap sore kami menemani mereka mengaji di TPA,
setelah itu anak-anak SD belajar di posko kami atau bahkan setiap waktu pasti
ada yang main ke posko untuk sekadar menyambangi dan mengajak kami bermain.
Demikian
seringnya interaksi dengan mereka, membuat saya semakin merindu.
Celotehnya, nakal khas anak kecilnya, cerita mimpi-mimpinya, kepolosannya.
Lucu. Saya yang sebenarnya kurang suka dengan anak kecil, karena setiap hari
selama KKN ini memaksakan diri harus membersamai mereka, namun lama-lama jadi terbiasa juga. Meskipun kadang masih sering jengkel dan nggak sabar sendiri
ngadepin mereka.
Seperti
yang sering ku tanyakan,
“Cita-citanya mau jadi apa Dek?”
“Dokter Mbak”
“Tentara, guru, polisi”, saut
yang lain menimpali dengan jawaban-jawaban klasik khas anak kecil.
Celotehan-celotehan ringan selalu mewarnai hari-hari saya selama di sini.
Di samping kepolosan mereka tersebut, ada yang
kadang membuat saya bebal dengan sebagian tingkah anak-anak sini. Di umur tiga
tahun saja sudah ada pertanyaan dan pernyataan begini. “Mbak KKN, bojomu sopo?”,”Mbak, Dimas bojoku lho”, Demikian
terlontar dari mulut anak umur tiga tahun. Lah kok bisanya anak umur segitu
mbahas bojo? [Bojo: suami atau istri]. Kendati demikian, saya memahami kalau kognitif anak-anak dan dewasa jelas berbeda. Mereka asal ngomong saja.
Gadget
dan motor. Raibnya permainan tradisional, diduga karena dua teknologi tersebut yang telah berhasil
menguasai mereka. Bagaimana dan kenapanya anak sini bisa dikuasainya, sudah
pernah saya tulis di cerita pekan pertama http://www.luluerzed.com/2019/07/kkn-cerita-pekan-pertama-ada-yang-raib.html. Bahkan anak-anak SD kelas empat
sudah pada lihai mengendarai motor. Demikian memang dikarenakan kurangnya
pengawasan orang tua setiap harinya. Seharusnya orang tua tidak cukup
mempercayakan pada sekolah, melainkan pendidikan juga harus ada campur tangan
dari mereka.
Saya
yakin, anak-anak ini juga tidak terlepas dari kasih sayang orang tua, meskipun
tidak bisa intensif bertemu dan mendampingi sepanjang harinya. Ada yang membuat
hati saya tersentuh, setiap usai belajar di sekolah, anak-anak ini selalu doa
bersama untuk kedua orang tua mereka. Di situ saya melihat tatap haru di mata
Ibu-ibu yang menunggui putra-putrinya di TK. Menjadi anak salih dan salihah yakni
harapan setiap orang tua.
Sebagai
kakak yang ikut serta menemani adik-adik di dusun ini setiap harinya, saya bisa
merasakan bahwa cara mendidik anak paling benar adalah memberinya suri tauladan. Anak kecil
sangat mudah mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua atau yang lebih tua
dari mereka. Sungguh, banyak sekali pelajaran hidup yang saya temukan di sini saat membersamai adik-adik bermain dan belajar.