twitter instagram

LULU ERZED

Bukan mau ngomongin Grup Band Dunia Kecil tahun 90an. Bukan juga mau membahas tentang persepsi dunia atau bumi ini besar atau kecil. Melainkan yang hendak saya ceritakan di pekan keempat ini adalah dunia kecil, dunianya kanak-kanak.

Ketika hendak menulis dengan judul ini, tetiba teringat Novel Dunia Kecil karya Yoyon Indra Joni, yang pernah saya baca sekitar tujuh tahun lalu. Cerita yang disuguhkan dalam novel bertema dunia persahabatan dan mimpi-mimpi si kecil ini, berhasil menyatuk dengan kisah yang ada di hadapan saya selama hampir satu bulan di Dusun Jati, juga kerinduan saya pada masa kanak-kanak lalu.

Kenakalan natural khas anak-anak desa yang cukup jauh dari hingar bingar perkotaan. Meskipun tidak bisa dipungkiri juga kalau di dusun ini dunia anak-anaknnya sudah cukup terbawa arus modernisasi, juga sangat familiar dengan teknologi sejak kecil. Kali pertama saya menginjak kaki di sini, saya kira bisa menemukan permainan-permainan yang akan mengobati rindu masa kecil saya, seperti: gobak sodor, layangan, bekel, engkle, petak umpet, lompat tali, dakon, juga permainan anak tradisional lainnya. Namun di sini masih bisa saya temui kesederhanaan berpikir anak-anak desa, kepolosan, juga tingkah-tingkah lucu mereka meskipun kadang juga menyebalkan.

"Rasa-rasanya ingin mengulang masa kecil. Tertawa lepas tiada beban, tiada kegalauan hidup, tiada drama, tragedi, sandiwara. Sejenak menatap mereka lamat, kemudian tenggelam bersama dunianya. Indah."

Cukup banyak interaksi kami dengan anak-anak dusun. Pagi dari jam 8 sampai 12 siang, kami meluangkan waktu ikut menemani mereka belajar di PAUD dan Taman Kanak-kanak, seminggu sekali juga kami mengadakan bimbel tambahan untuk anak kelas enam SD, setiap sore kami menemani mereka mengaji di TPA, setelah itu anak-anak SD belajar di posko kami atau bahkan setiap waktu pasti ada yang main ke posko untuk sekadar menyambangi dan mengajak kami bermain.

Demikian seringnya interaksi dengan mereka, membuat saya semakin merindu. Celotehnya, nakal khas anak kecilnya, cerita mimpi-mimpinya, kepolosannya. Lucu. Saya yang sebenarnya kurang suka dengan anak kecil, karena setiap hari selama KKN ini memaksakan diri harus membersamai mereka, namun lama-lama jadi terbiasa juga. Meskipun kadang masih sering jengkel dan nggak sabar sendiri ngadepin mereka.

Seperti yang sering ku tanyakan,

“Cita-citanya mau jadi apa Dek?”

“Dokter Mbak”

“Tentara, guru, polisi”, saut yang lain menimpali dengan jawaban-jawaban klasik khas anak kecil. Celotehan-celotehan ringan selalu mewarnai hari-hari saya selama di sini.


Di samping kepolosan mereka tersebut, ada yang kadang membuat saya bebal dengan sebagian tingkah anak-anak sini. Di umur tiga tahun saja sudah ada pertanyaan dan pernyataan begini. “Mbak KKN, bojomu sopo?”,”Mbak, Dimas bojoku lho”, Demikian terlontar dari mulut anak umur tiga tahun. Lah kok bisanya anak umur segitu mbahas bojo? [Bojo: suami atau istri]. Kendati demikian, saya memahami kalau kognitif anak-anak dan dewasa jelas berbeda. Mereka asal ngomong saja.


Gadget dan motor. Raibnya permainan tradisional, diduga karena dua teknologi tersebut yang telah berhasil menguasai mereka. Bagaimana dan kenapanya anak sini bisa dikuasainya, sudah pernah saya tulis di cerita pekan pertama http://www.luluerzed.com/2019/07/kkn-cerita-pekan-pertama-ada-yang-raib.html. Bahkan anak-anak SD kelas empat sudah pada lihai mengendarai motor. Demikian memang dikarenakan kurangnya pengawasan orang tua setiap harinya. Seharusnya orang tua tidak cukup mempercayakan pada sekolah, melainkan pendidikan juga harus ada campur tangan dari mereka.

Saya yakin, anak-anak ini juga tidak terlepas dari kasih sayang orang tua, meskipun tidak bisa intensif bertemu dan mendampingi sepanjang harinya. Ada yang membuat hati saya tersentuh, setiap usai belajar di sekolah, anak-anak ini selalu doa bersama untuk kedua orang tua mereka. Di situ saya melihat tatap haru di mata Ibu-ibu yang menunggui putra-putrinya di TK. Menjadi anak salih dan salihah yakni harapan setiap orang tua.

Sebagai kakak yang ikut serta menemani adik-adik di dusun ini setiap harinya, saya bisa merasakan bahwa cara mendidik anak paling benar adalah memberinya suri tauladan. Anak kecil sangat mudah mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua atau yang lebih tua dari mereka. Sungguh, banyak sekali pelajaran hidup yang saya temukan di sini saat membersamai adik-adik bermain dan belajar.


Senin (15/07) lalu hari pertama sekolah. Nampak dari depan posko kami yang cukup strategis dekat bangunan sekolah PAUD, TK, SD. Tak terpungkiri, kebahagiaan para orang tua, khususnya para Ibu yang mengantarkan anak-anak sekolah beriringan dengan nelangsa hatinya. Bukan karena lidah tetangga yang membuatnya panas, melainkan harga cabai kini membuat dompet Ibu-ibu kian memanas.

Rabu pagi jadwal saya ke pasar. Pagi itu bersamaan dengan awan mendung hingga kurasakan tetesan gerimis. Pedagang cabai adalah pedagang pertama yang saya tuju.

“Buk, tumbas lombok seperempat rawit, seperempat merah”

“Niki Mbak, jadi 42 ribu”

Setelah menunggu beberapa antrean, sontak saya kaget mendengarkan Ibu pedagang menyebutkan harga sembari menyodorkan cabai yang hanya segitu. Sedangkan saya hanya membawa uang 50 ribu dan masih untuk membeli bumbu dan sayuran lain. 

“Ngapunten Buk, jadinya beli seperempat aja dicampur”

“Oh nggih Mbak mboten nopo. Harga cabai memang lagi mahal mbak. Niki seperempat campur dadose 20 ribu”, Ibu pedagang tersebut sepertinya memahami gerak-gerikku yang hanya membawa uang tidak seberapa.

Harga cabai yang mulanya satu kilogram hanya 13-15 ribu, sekarang bisa melejit kisaran 65-80 ribu tergantung lokasi daerah yang mendapat pasokan. Tidak hanya konsumen saja yang mengeluhkan harga cabai, pagi itu terdengar ramai pedagang sayur dan bumbu-bumbu dapur juga sedang mengeluhkan anomali ini.

“Aku dadi memeng le meh dodolan lombok”, kata salah satu pedagang.

Ini memang bukan sebuah fenomena yang mengejutkan bagi para Ibu rumah tangga. Biar pun ini memang perputaran naik turun harga setiap periodenya, namun juga cukup meresahkan dan menjadi topik pembicaraan Ibu-ibu di mana saja. Pada saat arisan RT, misalnya. Saya mendapat curhatan dari Ibu-ibu di sana.

Dari pada ghibahin orang, mending ghibahin cabai ya kan? hehe

Rupanya, harga cabai ini diperkirakan karena kemarau panjang sehingga pasokan berkurang. Biasanya warga Dusun Jati ini pada musim penghujan bisa menanam cabai di pekarangan rumahnya sendiri dengan bantuan kotoran hewan ternaknya, sapi.

Pokoknya akhir-akhir ini tiap mampir warung pasti dicurhatin perkara cabai mahal.

Selain curahan hati Ibu-ibu perkara cabai, kami malam itu juga mendapat curahan perkara beras bantuan pemerintah.

Arisan Beras Dusun Jati RT 03

Ada yang menggetarkan hati saya pada malam itu. Sebagian warga belum juga beranjak pulang setelah arisan beras satu kiloan selesai. Ibu-ibu terlihat masih sibuk membagi sekarung beras ke beberapa plastik.

“Beras apa lagi ini Buk?”

Rupanya itu beras PKH bantuan dari pemerintah. Karena rasa kekeluargaan antar warga, supaya adil 1 KK yang mendapat bantuan beras sebanyak 10 kg tersebut, menyisakan 1 kg berasnya untuk dibawa ke tempat Ibu RT, lalu dikumpulkan dengan lainnya, kemudian dibagikan secara merata ke seluruh warga yang tidak mendapatkan bantuan tersebut.

PKH (Program Keluarga Harapan) yang diadakan pemerintah menjadi topik pembicaraan kami bersama Ibu-ibu Dusun Jati setelah Arisan Beras Malam Minggu di RT 03. Pasalnya, beras yang dibagikan ke warga setiap satu bulan sekali ini tidak dibagikan secara merata oleh pemerintah. Banyak warga yang sudah tercukupi kebutuhan pokoknya masih mendapatkan bantuan ini, sedangkan warga yang masih kekurangan malah ada yang tidak mendapat.

“Itu pemerintah survei ke dusun-dusun sini atau bagaimana Buk?”, tanya kami.

“Wah yo gak mbak, dari dusun nyerahin data, terus sana yang ngolah. Lek jare wong kene ngolahe pemerintah iku kurang mateng Mbak. Lha wong yang rumahnya sudah tembok bagus saja ada yang dapat bantuan kok”

Bantuan sosial PKH ini merupakan program pemerintah guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar lebih mandiri dan sejahtera. Tidak hanya memberikan bantuan beras sebanyak 10 kg per bulannya setiap tanggal 25, melainkan juga memberikan bantuan uang tunai tiga bulan sekali kepada warga. Pembagian yang tidak merata ini diresahkan oleh banyak masyarakat, tak terkecuali warga Dusun Jati.

Melihat pembagian beras yang diinisiasi sendiri oleh warga tersebut, benar-benar di sini saya merasakan rasa kekeluargaan dan solidaritas yang sangat tinggi. Coba di luar sana, masih banyak manusia yang memelihara egonya. Karena ada KKN juga saya jadi tahu gimana rasanya jadi Ibu-ibu yang meresahkan naik turunnya harga cabai. Heuheu

Pantai Ngrawe

Sudah dulu ya, cuitan pekan ketiga ini. Terima kasih udah mau nyimak cerita KKN tim kami.
Program kerja masih aman kok.

Oh iya, pekan ini destinasi tim 173 ke Pantai Ngrawe, Gunungkidul, ditempuh kurang lebih satu jam dari posko kami. Pantai dengan pasir putih, ombaknya yang sedang pasang, sejuk angin bersama nyiur kelapanya cukup membuat kami nyaman sejenak melepas penat di sana.






“Anjiiiiiiiiing”

Pekan kedua tinggal di sini sudah jarang lagi terdengar kata itu dari mulut-mulut kami. Bukan mengumpat, hanya saja di sini memang banyak Anjing. Saat itu kami masih takut dan belum terbiasa melihat anjing berkeliaran di rumah-rumah warga, di jalan, dimana-mana ada Anjing. Mendengar gonggongan, sekalipun dari jauh tidak melihat wujudnya saja kami sudah waspada.

Saya dan tim mengira kalau warga di sini mayoritas non muslim. Hipotesa kami muncul hanya karena kami melihat banyak Anjing berkeliaran. Namun, setelah kami banyak ngobrol dengan masyarakat, keberadaan Anjing-anjing tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Bahkan seluruh warga dusun sini yang berjumlah 143 KK seratus persen muslim.

Pekan pertama lalu, saya juga pernah mendengar, “Yu, iki Anjingmu to, gek digowo muleh. Mbak-mbak KKN iki lho podo wedi”.

Anjing-anjing tersebut ternyata peliharaan warga guna mengusir monyet-monyet yang menyerang hasil kebun mereka. Para warga rela mengeluarkan rupiah untuk membeli Anjing-anjing tersebut. Namun tidak ada makanan khusus untuknya, Anjing-anjing ini hanya memakan sisa-sisa makanan milik tuannya, laiknya kucing-kucing yang tak bertuan.

Tapi tenang, di sini nggak ada Anjing masuk masjid kok. Hehe


Secuil cerita pada tulisan yang saya beri judul ‘Islam Nenek Moyang’ ini. Sore itu kami menyempatkan silaturahmi ke rumah Pak Tri, salah satu tokoh masyarakat di dusun ini. Di tengah bincang saat beliau berkata, “Di sini itu Islamnya ya begini, Islam nenek moyang lah boleh dikata”. Seketika berhenti pada kalimat itu, kemudian saya teringat sesuatu.

Surat Kartini pada Stella Zeehandelaar, pada November 1899 yang kurang lebihnya berisi,

“…sebenarnya agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku jika aku tidak mengenal dan tidak bisa mengenalnya? Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Alquran tetapi tidak mengerti apa yang dibaca…”

Surat yang berisikan kegundahan RA. Kartini pada masa sangat ingin mendalami agama nenek moyangnya yang turun temurun. Menyimpulkan dari bincang kami dengan Beliau, kesadaran masyarakat di sini masih rendah dalam semangat mendalami agama yang dipeluknya. Entah kegundahan seperti itu sebenarnya juga ada pada masyarakat sini atau tidak, saya belum mendapat informasi lebih. Jika menurut beberapa tokoh masyarakat di sini, dan saya melihat langsung dari semangat mengkaji agama, sepertinya belum greget.


Masjid Utama Dusun Jati

“Aku yo iso maca Alquran, Mbak. Tapi nek cara jawane wong nabuh gamelan kuwi yo nutuk iso muni, ning ora ngerti padan gendinge sing bener piye. Mung sing penting iso muni.”, Begitu kata merendahnya Mbah Karjono, takmir Masjid Nur jannah, masjid utama Dusun Jati. (Aku bisa baca Alquran, Mbak. Tapi ibaratnya seperti orang memainkan gamelan, ya bisa mukulnya, tapi nggak tau cara mukul yang benar itu bagaimana).

“…Kepercayaan pada Tuhan itulah yang terutama baginya, peribadatan hanya soal tradisi…” Seperti dalam surat Kartini yang diterbitkan Van Deventer dalam De Gids Tahun 1991 tersebut. Mungkin tersebut kalimat yang tepat menggambarkan kondisi di sini. Alih-alih persoalan agama yang detail, tentang ibadah-ibadah mahdlah saja cukup dengan pengetahuan seadanya. Apalagi kok sampai ada debat agama kayak yang lagi ramai-ramai di luar sana.

“Mbiyen nek wong ora salat, berarti PKI”. Alkisah, kalimat itu dulu sering diucapkan warga sini ketika melihat warga tidak melaksanakan salat. Sekitar tahun 80an di dusun Jati ini didirikan masjid. Itu pun karena pada saat itu diadakan lomba padukuhan yang diadakan di desa Giricahyo, salah satu aspek penilaiannya setiap dusun harus ada masjid. Sejak itu mulai ada salat berjamaah di dusun ini.


( Sekadar Potret)
Area Pemakaman di Kawasan Desa Giricahyo

Keluar dari pembahasan Islam nenek moyang di atas. Rasa-rasanya kurang pantas jika mengukur tingkat atau derajat kemusliman seseorang. Saya salut para orang tua di sini semangat mengantarkan putra putrinya belajar Alquran bersama kami, Tim 173. Karena anggapan para orang tua, “Biar kami saja yang tidak bisa pendidikan agama, tetapi anak cucu kami harus bisa. Titip putra-putri kami ya, Mbak Mas”. Tersebut menjadi tanggung jawab dan tantangan bagi kami selama dua bulan di sini. Karena di dusun ini sebelumnya tidak ada TPA (Taman Pendidikan Alquran) dikarenakan tidak adanya tenaga pengajar, sehingga program kerja kami bukan dalam konteks “Mengembangkan” melainkan “Memulai”.

Terima kasih sudah menyimak cerita pekan keduaku. Doakan semoga program kerja TIM 173 lancar sampai akhir ya.

Oh iya destinasi pekan kedua ini,  kemarin Sabtu pagi  ke Watu Gupit Paralayang. Padahal kami liburannya cuma pas weekend loh, kok kalian pada reply story intagramku,

“KKN apa liburan?”, “Kok jalan terus?”

“Ya, dua-duanya sih dinikmati saja. Hehe”


Sampai jumpa di cuitan pekan ketiga.



Potret Samudera Hindia dari Atas Hutan Kebun Buah Naga 


Kisah bermula pada 1 Juli 2019, saat itu kami tim 173 memutuskan untuk berangkat ke Dusun Jati, Giricahyo. Menunggu pengumuman terkait lokasi kkn tidak sebentar, bukan berlebih atau bagaimana, awalnya saya sangat mencemaskan akan dapat lokasi dimana. Tapi sudahlah akhirnya saya menerima apapun keputusan LPPM Kampus, karena sudah menjadi konsekuensi mengikuti KKN Reguler, siap ditempatkan di mana saja.

Oke, begitu prolog curahan saya.

Giricahyo, desa yang cukup menarik. Terlebih saya ditempatkan di dusun paling ujung dari  desa ini, Dusun Jati. Dusun ini merupakan dusun paling ujung dan letak grafis pada bagian selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Pencarian saya dan tim menemukan Samudera Hindia juga tak kalah seru. Setelah hampir seminggu berada di sini dan beberapa kali diberi tahu warga kalau di atas hutan samping dusun ini bisa melihat keindahan yang belum banyak orang tahu, tim kami penasaran ingin mencari keberadaannya. Sabtu pagi, 6 Juli 2019 menyusuri jalan terjal di antara rerimbunan pohon jati selama satu jam tanpa bantuan maps, hanya bermodal membawa bekal jajan, juga dengan petunjuk orang-orang tani yang hendak ke kebun Buah Naga di atas hutan, akhirnya kami menemukan surga di atas gunung tandus yang terletak di daerah Gunungkidul paling ujung. Benar-benar kami melihat indahnya laut lepas tanpa aling apapun. Subhanallah.

Fakta-fakta menarik kehidupan kampung banyak saya temukan di Dusun Jati ini. Namun saya tidak menuliskan keseluruhannya di tulisan kali ini. Mungkin di tulisan-tulisan selanjutnya. Ikuti terus ya, Hehe.

Sungguh tidak heran, di era sekarang ini esensi pedesaan mulai luntur dan sudah terjamah budaya urban. Seperti di di sini, hampir nama-nama semua anak kecilnya cukup menggemaskan. Seperti: Aliando, Angel, Dinda, Fiska, dan nama-nama kekinian lainnya. Bahkan setelah berkenalan dengan mereka, saya sama sekali tidak menemukan nama seperti nama-nama Ibu atau Simbah mereka, seperti: Tukinem, Ponijan, Kemis, Sutinah. Biasanya orang mendengar nama yang demikian, dalam mindsetnya sudah terpatri “Wah ini pasti orang Jawa. Orang ini pasti orang desa”. Begitu bukan? Tentunya dengan nama-nama tersebut akan lebih sulit mengidentifikasi kalau mereka lahir dari kampung, dan kekhasan nama-nama ala desa tersebut raib tertelan zaman.

Gadget di dusun ini juga sudah membudaya. Tidak sedikit kami menemukan anak-anak SD, SMP menggenggam alat pintar tersebut. Sedikit miris, yang saya pikirkan dalam benak setelah melihat fenomena tersebut, “Mereka (para generasi muda) yang akan menguasainya atau mereka akan dikuasai olehnya?”

Segerombolan anak-anak yang masih berwajah polos berkumpul di depan Balai Desa.

“Lagi ngopo dek?”tanyaku.

“Nggolek wifi, mbak”

Ternyata mereka sedang main game online. Setelah kutanyai beberapa aparat desa pada saat perkumpulan di Balai Desa tersebut, seperti ini dikarenakan sekolah belum masuk, juga mereka ditinggal orang tuanya bekerja, yang mayoritasnya bekerja sebagai buruh berangkat subuh pulang magrib --pemandangan setiap pagi dan sore; melihat truk bergantian mengangkut pekerja-- Kemudian solusi supaya anak tetap anteng di rumah dan tidak rewel, yaitu memberinya gadget. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat di kota sana, yang juga memberikan gadget pada anak-anaknya lalu ditinggal kerja kantor, misalnya. Sangat miris, untuk anak usia di bawah umur tersebut tanpa pengawasan orang tua bisa mengakses apa saja yang dikehendakinya.

Cukup memprihatinkan, karena setelah saya dan tim melakukan beberapa kali FGD (Forum Group Discussion) dengan tokoh masyarakat pada masa penjajakan guna merumuskan program kerja selama dua bulan di sini, kami mendapat beberapa eluhan dari tokoh terkait masyarakat di dusun ini. Salah satu problem yang sangat menjadi perhatian kami, yaitu masalah kurangnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan dan keagamaan.

Sebentar, tidak semuanya tertelan zaman kok. Masih ada beberapa kekhasan desa yang belum hilang. Seperti budaya srawung, kehangatan suasana kekeluargaan antar warga masih nyata terlihat. Datangnya kami di dusun ini sangat disambut hangat oleh masyarakat, di setiap ruas jalan sangat jarang kami menemukan wajah muram. Selalu ada senyum di balik sapa mereka, juga tutur yang begitu hangat menyapa kedatangan kami. Setiap malam harinya terjadwal kumpul warga, Bapak, Ibu, Pemuda, bahkan hanya untuk sekadar arisan uang atau arisan beras. 

Satu lagi, pasar. Di Desa ini terdapat satu pasar terletak di Dusun Karangtengah yang hanya buka setiap hari pasaran Pon dan Kliwon. Setiap hari tersebut warga ramai-ramai berbondong jalan kaki atau memilih naik truk selepas subuh untuk belanja; ada yang untuk kebutuhan pribadi, juga ada yang dijual kembali di warungnya. Menariknya, setiap Ibu-ibu yang belanja di pasar, masing-masing membawa keranjang belanjanya sendiri. Bahkan sangat sedikit penjual yang menyediakan plastik untuk belanjaan yang dibeli. Go green dimulai dari desa, ceunah. 

Sudah dulu ya. Mau lanjut belajar masak. Haha. Eh nggak ding, mau nerusin rancangan program kerja. Halah gayane!

Sampai jumpa di cuitan pekan kedua. Masih ada kisah-kisah yang ingin kubagikan.


Newer Posts
Older Posts

ABOUT ME

Nama lengkap sesuai akta lahirku, Lu'lu'il Maknun.
Mereka kerapa menyapaku, Lulu Erzed.
Kalian bisa menemukanku dimana saja.
Aku juga bisa menjadi siapa saja.

FOLLOW ME

Labels

Cerpen Cuitan Diary Mutiara perempuan pesantren Puisi Review Buku Tips

recent posts

Blog Archive

  • Januari (1)
  • Agustus (1)
  • Mei (1)
  • Desember (2)
  • Oktober (1)
  • Juli (4)
  • Mei (2)
  • Maret (5)
  • Januari (1)
  • Desember (1)
  • November (1)
  • September (1)
  • Agustus (4)
  • Juli (1)
  • Desember (1)

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates