(KKN) Cerita Pekan Pertama: Ada yang Raib Bersama Waktu
![]() |
Potret Samudera Hindia dari Atas Hutan Kebun Buah Naga |
Kisah
bermula pada 1 Juli 2019, saat itu kami tim 173 memutuskan untuk berangkat ke
Dusun Jati, Giricahyo. Menunggu pengumuman terkait lokasi kkn tidak sebentar,
bukan berlebih atau bagaimana, awalnya saya sangat mencemaskan akan dapat
lokasi dimana. Tapi sudahlah akhirnya saya menerima apapun keputusan LPPM
Kampus, karena sudah menjadi konsekuensi mengikuti KKN Reguler, siap
ditempatkan di mana saja.
Oke, begitu prolog curahan saya.
Giricahyo,
desa yang cukup menarik. Terlebih saya ditempatkan di dusun paling ujung
dari desa ini, Dusun Jati. Dusun ini
merupakan dusun paling ujung dan letak grafis pada bagian selatan berbatasan langsung
dengan Samudera Hindia.
Pencarian
saya dan tim menemukan Samudera Hindia juga tak kalah seru. Setelah hampir
seminggu berada di sini dan beberapa kali diberi tahu warga kalau di atas hutan
samping dusun ini bisa melihat keindahan yang belum banyak orang tahu, tim kami
penasaran ingin mencari keberadaannya. Sabtu pagi, 6 Juli 2019 menyusuri jalan
terjal di antara rerimbunan pohon jati selama satu jam tanpa bantuan maps, hanya
bermodal membawa bekal jajan, juga dengan petunjuk orang-orang tani yang hendak
ke kebun Buah Naga di atas hutan, akhirnya kami menemukan surga di atas gunung
tandus yang terletak di daerah Gunungkidul paling ujung. Benar-benar kami
melihat indahnya laut lepas tanpa aling apapun. Subhanallah.
Fakta-fakta
menarik kehidupan kampung banyak saya temukan di Dusun Jati ini. Namun saya tidak
menuliskan keseluruhannya di tulisan kali ini. Mungkin di tulisan-tulisan selanjutnya. Ikuti
terus ya, Hehe.
Sungguh
tidak heran, di era sekarang ini esensi pedesaan mulai luntur dan sudah terjamah budaya urban. Seperti
di di sini, hampir nama-nama semua anak kecilnya cukup menggemaskan. Seperti:
Aliando, Angel, Dinda, Fiska, dan nama-nama kekinian lainnya. Bahkan setelah berkenalan
dengan mereka, saya sama sekali tidak menemukan nama seperti nama-nama Ibu atau
Simbah mereka, seperti: Tukinem, Ponijan, Kemis, Sutinah. Biasanya orang mendengar
nama yang demikian, dalam mindsetnya sudah terpatri “Wah ini pasti orang Jawa. Orang ini pasti
orang desa”. Begitu bukan? Tentunya dengan nama-nama tersebut akan lebih
sulit mengidentifikasi kalau mereka lahir dari kampung, dan kekhasan nama-nama ala
desa tersebut raib tertelan zaman.
Gadget
di dusun ini juga sudah membudaya. Tidak sedikit kami menemukan anak-anak SD, SMP
menggenggam alat pintar tersebut. Sedikit miris, yang saya pikirkan dalam benak
setelah melihat fenomena tersebut, “Mereka
(para generasi muda) yang akan menguasainya atau mereka akan dikuasai olehnya?”
Segerombolan
anak-anak yang masih berwajah polos berkumpul di depan Balai Desa.
“Lagi ngopo dek?”tanyaku.
“Nggolek wifi, mbak”
Ternyata mereka sedang main game online. Setelah kutanyai beberapa aparat desa pada saat perkumpulan di Balai
Desa tersebut, seperti ini dikarenakan sekolah belum masuk, juga mereka ditinggal
orang tuanya bekerja, yang mayoritasnya bekerja sebagai buruh berangkat subuh
pulang magrib --pemandangan setiap pagi dan sore; melihat truk bergantian mengangkut pekerja-- Kemudian solusi supaya anak tetap anteng di rumah dan tidak rewel,
yaitu memberinya gadget. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat di kota sana, yang juga memberikan gadget pada anak-anaknya lalu ditinggal kerja kantor, misalnya. Sangat miris, untuk anak usia di bawah umur
tersebut tanpa pengawasan orang tua bisa mengakses apa saja yang
dikehendakinya.
Cukup
memprihatinkan, karena setelah saya dan tim melakukan beberapa kali FGD (Forum Group Discussion) dengan
tokoh masyarakat pada masa penjajakan guna merumuskan program kerja selama dua
bulan di sini, kami mendapat beberapa eluhan dari tokoh terkait masyarakat di
dusun ini. Salah satu problem yang sangat menjadi perhatian kami, yaitu masalah kurangnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan dan keagamaan.
Sebentar, tidak semuanya tertelan zaman kok. Masih ada beberapa kekhasan desa yang belum
hilang. Seperti budaya srawung, kehangatan
suasana kekeluargaan antar warga masih nyata terlihat. Datangnya kami di dusun
ini sangat disambut hangat oleh masyarakat, di setiap ruas jalan sangat jarang
kami menemukan wajah muram. Selalu ada senyum di balik sapa mereka, juga tutur
yang begitu hangat menyapa kedatangan kami. Setiap malam harinya terjadwal kumpul
warga, Bapak, Ibu, Pemuda, bahkan hanya untuk sekadar arisan uang atau arisan beras.
Satu lagi, pasar. Di Desa ini terdapat satu pasar terletak di Dusun Karangtengah yang hanya buka setiap hari pasaran Pon dan Kliwon. Setiap hari tersebut warga ramai-ramai berbondong jalan kaki atau memilih naik truk selepas subuh untuk belanja; ada yang untuk kebutuhan pribadi, juga ada yang dijual kembali di warungnya. Menariknya, setiap Ibu-ibu yang belanja di pasar, masing-masing membawa keranjang belanjanya sendiri. Bahkan sangat sedikit penjual yang menyediakan plastik untuk belanjaan yang dibeli. Go green dimulai dari desa, ceunah.
Sudah dulu ya. Mau lanjut belajar masak. Haha. Eh nggak ding, mau nerusin rancangan program kerja. Halah gayane!
Sampai jumpa di
cuitan pekan kedua. Masih ada kisah-kisah yang ingin kubagikan.
3 Comments