Kama Tadiinu
Tudaanu : Sebagaimana kamu memperlakukan,
(begitu pula) kamu akan diperlakukan. Tersebut penggalan Hadits, menjadi salah
satu yang mendasari saya mengetik tulisan ini.
Saya menulis ini di bulan Desember, juga dalam
rangka mengenang sosok berperikemanusiaan, yaitu Gus Dur. Tapi di sini saya
nggak akan bahas bagaimana figur sosok Gus Dur dalam memanusiakan manusia ya.
Tulisan ini berisi sedikit cuitanku perihal
konsep memanusiakan manusia.
Relevan dengan salah satu konsep hidup yang
saya pegang dewasa ini, yaitu ‘Memanusiakan Manusia’. Saya yang dulu boleh
dibilang cenderung berkepribadian individualis, akhirnya lambat laun mulai
memahami konsep tersebut yang mengharuskan menjadi orang yang ‘sosialis’. Apa
sih bahasa yang pas. Paham kan? Paham lah, harus.
Tentu ini tidak sulapan atau cling tiba-tiba
saya mampu memahami dan menyadari pentingnya konsep ini. Banyak sekali membaca
dari pengalaman sendiri, juga kisah pengalaman teman.
Pernah Ayah saya berpesan, “Kuncinya itu, kalau
mau dihormati ya harus bisa menghormati”. Saya kira itu juga bagian dari maksud
konsep ‘Memanusiakan Manusia’, yang jika dipreteli
(apa sih bahasa yang pas), akan menemukan komponen-komponen tersebut di
dalamnya.
Sejak itu, saya mulai menyadari untuk selalu
berkaca pada diri sendiri saat mengeluhkan sesuatu. dan selalu teringat pesan
Ayah, lalu saya ganti predikatnya. Seperti: Kalau mau disayang, ya harus
menyayangi. Kalau mau pendapat kita didengarkan orang lain, ya harus mau
mendengarkan orang lain. Dan begitu seterusnya harus selalu melihat diri
sendiri sebelum menjustifikasi perilaku orang lain terhadap kita.
“Apa
saya mau jika saya diperlakukan seperti itu?”, Nah pertanyaan ini juga perlu disadari
setiap manusia. Setelah kesadaran kita harus melihat diri kita sendiri sebelum
menjustifikasi orang, ini juga harus beriringan dengan melihat diri kita
terlebih dahulu sebelum memperlakukan orang lain.
Perlu dipahami dan disadari oleh setiap manusia
(lagi), konsep ini sudah saya terapkan dalam perihal apapun. Pernah saya hampir
menabrak orang, tapi nggak tau sebenarnya yang salah siapa, lawan motor juga salah
karena kecerobohannya, dan ini berulangkali saya alami di jalan.
Pada saat terjadi insiden tersebut, pasti
sebisa mungkin saya meminta maaf duluan
dan mempersembahkan seutas senyum terbaik dari bibir saya –yang manis—ini.
Sudah kubuktikan berkali-kali, ini sangat terbukti manjur, cuy. Lawan laka saya
nggak jadi marah-marah dong.
Dan saya sangat yakin, kalau percekcokan di jalanan antar pengendara,
biasanya bermula dari salah satu di antara mereka tidak ada yang mau meminta
maaf dan tidak mau mengalah. By the way, ini
juga bisa diterapkan tidak hanya dalam kasus ini. Misalkan, dalam kehidupan sosial
keseharian, atau dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Putus da putus
hubungan kalian!
Mengaplikasikan konsep ‘Memanusiakan Manusia’
berarti harus bersitegas melawan ego. Berusaha menjadi manusia yang legowo (menerima dengan ikhlas), mampu
mengerti dan memahami orang lain di hadapan kita.
Konsep ini juga sejalan dengan peribahasa “Apa
yang kamu tanam, maka itu yang akan kamu tuai”. Peribahasa ini seringkali
diterapkan dalam proses mencari ilmu. Tapi bagi saya tidak hanya itu, konsep
ini juga berhak memakai peribahasa tersebut.
Sudah termaktub juga dalam al-Quran sebagai sumber
pedoman umat muslim, salah satunya terdapat dalam Surah Arrahman ayat 60 “Hal jazaa ul ihsaani illal ihsan” yang
artinya “Tidak ada balasan kebaikan, kecuali dengan kebaikan pula”.
Masih banyak ayat-ayat lain yang serupa dalam
al-Quran yang berisi balasan atas perbuatan manusia. Tentunya ini tidak hanya
konteks menanam di dunia, menuai di akhirat. Ini juga bisa berlaku di dunia,
yang seharusnya juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan harus
disadari oleh setiap manusia kalau ini menjadi bagian dari konsep hidup yang menurutku sangat urgen.
Saya pikir tidak hanya sumber pedoman Islam
yang mengajarkan demikian. Saya yakin agama-agama lain dalam kitab pedomannya
juga mengajarkan kebaikan-kebaikan. Baik pada perkara hubungan
kepada Tuhan, maupun hubungan kepada manusia.
One of the
conclusion, intinya: Nek ora gelem dikonokke, yo ojo ngonokke, Mbak Mas.
(Kalau nggak mau digituin ya jangan ngegituin)~
(Kalau nggak mau digituin ya jangan ngegituin)~