![]() |
pict : google |
“Satu tahun ini sudah ngapain aja?”
“Resolusi tahun depan apa?”
“Semoga tahun depan lebih baik”
“Terima kasih 20—bla bla bla”, dan lain-lain.
Pertanyaan dan penyataan default yang
dikeluarkan setiap penghujung tahun. Kenapa tak kau tanyakan saja pada dua
malaikat setia yang setiap nano detiknya mencatat amal-amalku?
Tiap tahun sok-sokan buat resolusi, tapi juga
nihil, pun tanpa evolusi—Dasar aku dan kamu sekalian.
Kalau saya baca di kaos abang penjual thai
tea di ujung jalan sana tertulis, “Januari, Februari, Corona, Desember”.Cukup
menggelitik otak saya, kemudian menyetujui kalimat tersebut. Maret hingga
November seperti terlewati begitu saja. Karena semuanya dilakukan di rumah aja ya,
kan.
Setelah kupikir, rasanya tidak buruk-buruk
juga. Satu tahun ini saya mencoba tetap bertahan hidup di tengah mewabahnya
covid-19. Banyak yang tertinggal, banyak resolusi yang tidak sesuai ekspektasi,
banyak kabar duka, banyak rencana yang gagal, banyak harapan yang tertunda. Meskipun tetap ada; ada yang berhasil
terselesaikan, ada yang terlaksana namun tidak maksimal, ada pula angan yang
kubiarkan lenyap begitu saja.
Terlalu meratapi kegagalan, sampai lupa
bersyukur pada-Nya atas segala kemudahan yang diberikan dalam menuju
pencapaian. YAY! ALHAMDULILLAH, I’M GRADUATED!”. Bulan November lalu saya menyelesaikan
studi strata-1. Semua proses tugas akhir dari bimbingan, sidang, hingga wisuda
dilakukan daring. Ekspektasi perayaan sidang skripsi dan wisuda yang akan
dihadiri orang-orang terdekatpun sudah kubuang jauh-jauh. Mereka tetap hadir. Satu
per satu hadir menyapa mengucapkan selamat via media sosial.
Tunggu. Belum selesai. Masih banyak misi
hidup yang harus diselesaikan. Apa sih yang dicari di hidup ini? Berlomba kejar
target hidup masing-masing, sampai lupa bahagia. Akhir tahun ini, saya
dibangunkan oleh satu buku yang kubaca, dan tiba-tiba saya berpikir, “Iya juga
ya.”
Jadi begini,
Sebagai anak, wajar jika kita ingin membahagiakan kedua orang tua. Kita berusaha semaksimal mungkin mencapai target-target hidup yang sudah kita buat sendiri—dalam rangka membahagiakan orang tua—tapi tanpa mendiskusikan dengan orang tua kita, apa yang sebenarnya mereka harapkan pada capaian kita, dan apa yang membuat mereka bahagia.
Jangan-jangan sebenarnya mereka sudah
bahagia dengan capaian kita sampai saat ini? atau jangan-jangan, dengan memiliki
kita saja sudah dianggap sebagai anugerah terbesar mereka? lalu, untuk apa kita
masih berusaha terus, kalau-kalau mereka memang ternyata sudah bahagia dengan
apa adanya saat ini?
Kemudian di malam tahun baru ini, saya memberanikan
diri memberikan catatan target sepuluh tahun ke depan saya kepada orang tua. Meskipun
lagi-lagi tidak ada banyak kata dari mereka, tapi mereka sudah mengiyakan. Doaku,
semoga semua tercapai dan tidak sedikitpun mengecewakan mereka.
Tidak cukup baik, tapi tidak buruk juga untuk
tahun ini. Sekian. Welcome, My 23!